
Sudah beberapa hari ini Karin merasa resah dengan pemberitaan tentang RKUHP tentang nasib perempuan yang kerja malam. Dengar-dengar sih, perempuan yang kedapatan pulang malam sendirian, tanpa dijemput atau berkeliaran malam-malam akan didenda entah berapa-berapa juta gitu. Hal ini membuatnya sedikit banyak berfikir keras apa yang harus dilakukannya jika benar RUU itu disahkan. Sedangkan dia adalah salah satu karyawati yang memiliki jadwal shift malam.
Sedang asik-asiknya merenung Karin tersentak ketika sebuah tangan tiba-tiba membekap mulutnya, belum sempat Karin menyadari apa yang terjadi, dia sudah terkulai tak sadarkan diri dalam dekapan sosok yang membekapnya itu.
"Dimana aku ini?" Karin perlahan-lahan membuka matanya. Nampak samar-samar olehnya seseorang berdiri di samping ranjang dia berbaring. Perlahan orang itu menunduk dan memegang tangannya.
"Syukurlah kamu sudah sadar nak." Ucap sosok tersebut yang adalah seorang wanita paru baya.
"Kenapa denganku dan dimana aku ini bu?" tanya Karin setengah penasaran setelah dia dengan susah payah duduk dari tidurnya.
"Semalam ibu pas lewat di jalan itu dan ibu melihat orang itu membekapmu, ibu langsung teriak-teriak minta tolong. Ibu lupa kalo disitu sepi, dan ibu nyaris dipukul sama orang berbaju hitam-hitam itu juga. Untung ada anak muda yang datang menolong ibu. Orang itu dibikin ketakutan dan lari."
"Maaf saya sudah menyusahkan ibu." Karin setengah membungkukkan badannya kepada wanita tersebut.
"Tidak perlu nak, tidak perlu.. kita berterimakasih kepada Allah yang sudah mengirimkan malaikat penolong bagi kita. Nak Ihsan namanya, oya panggil saja saya bu Ayu."
"Dimana orang yang menolong kita itu bu Ayu?" Karin rasanya tidak sabar untuk bertemu dengan penyelamatnya yang lain itu.
"Katanya dia harus mengambil sesuatu, dia akan kembali sebentar lagi. Dia tidak memperbolehkan ananda untuk pulang, karena takutnya orang hitam-hitam itu memang sudah mengincar ananda sudah lama dan akan mencari ananda lagi."
"Tapi bagaimanapun saya harus tetap pulang, karena orang tua saya akan khawatir dan juga saya tidak bisa tidak masuk kerja." Karin baru akan melanjutkan berkata-kata ketika dari luar terdengar suara orang memanggil ibu Ayu. Wanita itu segera beranjak keluar dan beberapa saat sudah kembali dengan seorang pemuda yang wajahnya terlihat agak pucat.
"Ini dia nak Ihsannya." Bu Ayu meninggalkan mereka setelah mengucapkan beberapa kalimat.
"Terimakasih karena sudah menolong saya." Karin berusaha mau berdiri untuk memberi salam kepada pria itu, tetapi dengan sigap Ihsan menahannya untuk tetap duduk.
"Tidak perlu berterimakasih, sudah seharusnya saya tolong kamu, mulai hari ini saya akan mengantar dan menjemputmu kemana dan darimana saja."
"Tapi kenapa?" Karin terbelalak dengan perkataan pria itu.
"Karena saya tidak mau terjadi apa-apa denganmu lagi." Pria itu memandang tajam Karin. Sementara Karin sendiri merasa ada yang aneh dengan tatapan itu. Tiba-tiba saja dia merasa jantungnya berdetak cepat. Ada desiran-desiran aneh ketika tangan pria itu menyentuh bauhnya.
"Tapi saya bukan siapa-siapamu?" Karin menatap mata pria itu.
"Apa kamu sudah lupa dengan saya?" Pria itu mengeluarkan sebuah benda dari saku celananya. Karin terbelalak ketika melihat benda itu.
"Itu...itu kotak musik kecilku. Kenapa ada padamu?" Kini giliran Karin yang menatap tajam pada Ihsan.
"Karin, bukankah kamu yang memberikan ini pada saya, saat kita berpisah dulu, saat kami harus pindah ke Swiss." Karin tersentak, ingatannya mulai melanglang ke masa lampau. Terlintas diingatannya kalau 20 tahun silam, dia memiliki teman lelaki sebaya yang papanya adalah seorang ekspatriat Swiss yang menikah dengan mamanya yang asli Indonesia. Mereka sangat akrab, dan bahkan Karin seringkali diajak pergi jalan. Dalam banyak acara mereka selalu mengikut sertakan Karin. Ya, wajah Ihsan kecil mulai terpampang jelas didepannya. Dia menatap dalam-dalam mata Ihsan, dan dia mulai menemukan mata kecil Ihsan di dalam mata pria yang sekarang ada di depannya. Tanpa dia sadari ada bulir air mengembang dipelupuk matanya yang hampir mau jatuh. Tetapi dengan lembut ibu jari Ihsan menyeka butiran itu dari pelupuk mata Karin. Dengan senyum bahagia, Karin menghambur ke dalam pelukan Ihsan. Ihsan memeluk erat badan mungil Karin dan beberapa kali mengecup kening gadis itu.
"Aku pikir aku tidak akan bertemu denganmu lagi." Karin melepaskan pelukannya perlahan.
"Bukankah aku dulu berjanji pasti akan kembali. Meskipun tidak ada waktu untuk bertemu. Tapi aku pasti tetap akan datang mencarimu."
"Trimakasih, kamu tetap Ihsan yang dulu. Selalu menepati janjimu." Mereka kembali saling berpelukan. Mereka begitu bahagia karena bisa bertemu setelah sekian lama terpisah.
Sedang asik-asiknya merenung Karin tersentak ketika sebuah tangan tiba-tiba membekap mulutnya, belum sempat Karin menyadari apa yang terjadi, dia sudah terkulai tak sadarkan diri dalam dekapan sosok yang membekapnya itu.
"Dimana aku ini?" Karin perlahan-lahan membuka matanya. Nampak samar-samar olehnya seseorang berdiri di samping ranjang dia berbaring. Perlahan orang itu menunduk dan memegang tangannya.
"Syukurlah kamu sudah sadar nak." Ucap sosok tersebut yang adalah seorang wanita paru baya.
"Kenapa denganku dan dimana aku ini bu?" tanya Karin setengah penasaran setelah dia dengan susah payah duduk dari tidurnya.
"Semalam ibu pas lewat di jalan itu dan ibu melihat orang itu membekapmu, ibu langsung teriak-teriak minta tolong. Ibu lupa kalo disitu sepi, dan ibu nyaris dipukul sama orang berbaju hitam-hitam itu juga. Untung ada anak muda yang datang menolong ibu. Orang itu dibikin ketakutan dan lari."
"Maaf saya sudah menyusahkan ibu." Karin setengah membungkukkan badannya kepada wanita tersebut.
"Tidak perlu nak, tidak perlu.. kita berterimakasih kepada Allah yang sudah mengirimkan malaikat penolong bagi kita. Nak Ihsan namanya, oya panggil saja saya bu Ayu."
"Dimana orang yang menolong kita itu bu Ayu?" Karin rasanya tidak sabar untuk bertemu dengan penyelamatnya yang lain itu.
"Katanya dia harus mengambil sesuatu, dia akan kembali sebentar lagi. Dia tidak memperbolehkan ananda untuk pulang, karena takutnya orang hitam-hitam itu memang sudah mengincar ananda sudah lama dan akan mencari ananda lagi."
"Tapi bagaimanapun saya harus tetap pulang, karena orang tua saya akan khawatir dan juga saya tidak bisa tidak masuk kerja." Karin baru akan melanjutkan berkata-kata ketika dari luar terdengar suara orang memanggil ibu Ayu. Wanita itu segera beranjak keluar dan beberapa saat sudah kembali dengan seorang pemuda yang wajahnya terlihat agak pucat.
"Ini dia nak Ihsannya." Bu Ayu meninggalkan mereka setelah mengucapkan beberapa kalimat.
"Terimakasih karena sudah menolong saya." Karin berusaha mau berdiri untuk memberi salam kepada pria itu, tetapi dengan sigap Ihsan menahannya untuk tetap duduk.
"Tidak perlu berterimakasih, sudah seharusnya saya tolong kamu, mulai hari ini saya akan mengantar dan menjemputmu kemana dan darimana saja."
"Tapi kenapa?" Karin terbelalak dengan perkataan pria itu.
"Karena saya tidak mau terjadi apa-apa denganmu lagi." Pria itu memandang tajam Karin. Sementara Karin sendiri merasa ada yang aneh dengan tatapan itu. Tiba-tiba saja dia merasa jantungnya berdetak cepat. Ada desiran-desiran aneh ketika tangan pria itu menyentuh bauhnya.
"Tapi saya bukan siapa-siapamu?" Karin menatap mata pria itu.
"Apa kamu sudah lupa dengan saya?" Pria itu mengeluarkan sebuah benda dari saku celananya. Karin terbelalak ketika melihat benda itu.
"Itu...itu kotak musik kecilku. Kenapa ada padamu?" Kini giliran Karin yang menatap tajam pada Ihsan.
"Karin, bukankah kamu yang memberikan ini pada saya, saat kita berpisah dulu, saat kami harus pindah ke Swiss." Karin tersentak, ingatannya mulai melanglang ke masa lampau. Terlintas diingatannya kalau 20 tahun silam, dia memiliki teman lelaki sebaya yang papanya adalah seorang ekspatriat Swiss yang menikah dengan mamanya yang asli Indonesia. Mereka sangat akrab, dan bahkan Karin seringkali diajak pergi jalan. Dalam banyak acara mereka selalu mengikut sertakan Karin. Ya, wajah Ihsan kecil mulai terpampang jelas didepannya. Dia menatap dalam-dalam mata Ihsan, dan dia mulai menemukan mata kecil Ihsan di dalam mata pria yang sekarang ada di depannya. Tanpa dia sadari ada bulir air mengembang dipelupuk matanya yang hampir mau jatuh. Tetapi dengan lembut ibu jari Ihsan menyeka butiran itu dari pelupuk mata Karin. Dengan senyum bahagia, Karin menghambur ke dalam pelukan Ihsan. Ihsan memeluk erat badan mungil Karin dan beberapa kali mengecup kening gadis itu.
"Aku pikir aku tidak akan bertemu denganmu lagi." Karin melepaskan pelukannya perlahan.
"Bukankah aku dulu berjanji pasti akan kembali. Meskipun tidak ada waktu untuk bertemu. Tapi aku pasti tetap akan datang mencarimu."
"Trimakasih, kamu tetap Ihsan yang dulu. Selalu menepati janjimu." Mereka kembali saling berpelukan. Mereka begitu bahagia karena bisa bertemu setelah sekian lama terpisah.