Bukan hanya kali ini, sudah beberapa kali saya meminta suamiku agar berhati-hati dalam mengelola keuangan. Tapi demi ambisinya yang begitu besar, ia tidak pernah mendengar ucapan ku.
Setiap kali saya memintanya berpikir sebelum menginvestasi uang dalam jumlah besar, ia selalu marah-marah.
"Sampai kapan kita harus hidup seperti ini terus? Saya melakukan ini semua demi masa depan kita. Demi masa depan anak-anak kita," kisah perempuan berambut panjang hitam itu pada Hamid lelaki yang baru saja tempat penggadaian dirinya.
Sambil merapikan ranjang tempat ia dan Hamid berguling guling, perlahan ia bertanya "Kenapa mas Hamid tidak menikah? Kenapa harus meminjamkan uang ke orang lain dengan jaminan istri? Bukan kah uang sebanyak itu cukup untuk biaya pernikahan?"
Awalnya, Hamid seolah tak peduli dengan pertanyaan yang dilontar oleh Srie yang baru saja menjadi penemani hidupnya itu.
Seraya mematikan TV melalui remote control yang ditanganya, Hamid beranjak lalu merangkul Srie penuh cinta.
Sri yang masih mencintai suaminya itu hanya membiarkan tubuh tambun itu merangkul badannya yang sexy.
Terlihat wajah Srie tanpa perasaan. Namun karena ia sadar kini harus menjadi pendamping Hamid selama uang tebusan ada dari sang suami belum lunas. Ia pun tak kuasa melepas lingkaran tangan yang melilitnya itu.
Sesekali tangan Hamid terlihat merayap kebagian tubuh sensitif Srie. Disaat-saat seperti itu juga kedua bola mata Srie hanya bisa memandang langit-langit kamar dengan perasaan bercampuraduk.
"Mi, papa ngelakui ini untuk membangun kembali usaha kita. Ketika usaha ini sudah mulai jalan, rumah akan saya jual dan kita tinggal ditempat usaha baru. Saat itu lah kita kembali bersama. Jadi buat lah Hamid bahagia selama uang tebusan mama belum papa dapatin" teringat Srie kata-kata Ndika sang suami.
Bagai ilmu pelet, kata Sumai itu langsung membuat luluh hati Srie pada lelaki yang menjadi suami sementaranya itu.
Srie menarik nafas agak dalam seolah mengumpulkan kembali harapa yang telah pupus, lalu membalikkan badanya menghadap Hamid seraya melemparkan senyum menggoda.
Senyuman yang tersirat dari wajah manis Srie begitu indah mempesona hingga membuat Hamid terkagum.
Memandang senyuman Srie yang disertai tatapan tajam setajam silet itu membuat bibir Hamid sulit mengungkapkan persaannya.
Hamid mengetahui, bahwa suatu saat ini Srie bakal kembali kepelukan Ndika. Tidak mau menyia-nyiakan waktu yang ada, perlahan ia menggulingkan bada Srie kembali ke kasur yang barus saja terta rapi itu.
Pasrah dan sedikit berusaha membalas agar tidak kelihatan tidak rela ditindih Hamid, Srie mencoba membayangkan kalau Hamid adalah suaminya. Perlahan ia mengikuti gerak naik turun Hamid yang sedang berada di atas badannya itu.
Setahun telah berlalu, kabar Ndika melunasi hutang pada Hamid juga belum tuntas.
Dengan penuh rasa gelisah, Srie mencoba bertanya pada sang suami yang ia kagumi itu.
"Pah?! Sampai kapan papa jadikan saya ngelonte seperti ini? Kalau memenag papa tidak bisa melunasi ya sudah. Saya jadi istri aja buat Hamid sekalian!" suara Srie terdengar berbicara melalui telpon genggamnya.
Belum juga mendengar penjelasan sang suami, dengan suara nada marah, "Su su sudaa...h. Tidak usah hubungi saya lagi," sambil membanting HPnya.
Depan teras rumah yang terbuat dari kayu itu, Ndika sempat mendengar suara HP istrinya itu terbanting. Lalu, "Tiu..ng tiung tiung...." suara dari HP yang genggam itu akhirnya terputus.
Dengan perasaan gundah, Ndika mencoba mendatangi rumah Hamid. Terlihat keduanya sedang mendiskusikan masalah wanita yang telah digadai itu.
Hamid : Oh tidak bisa bro. Kemarin loe janji lunasin dengan uang. Kalau tanah, saya tidak butuh.
Ndika : Ayolah, saya butuh dukungan istri saya. Saya juga sudah lama tidak menyentuh dia.
Hamid : Maaf, selagi uang tebusan tidak ada. Jangan harap ada negosiasi. Apalagi istri abang ini benar-benar hot. (Seolah mengejek Ndika).
Meskipun telah berusaha mengemis ke Hamid, Hamid kelihatanya belum rela melepas Srie. Diam-diam ia rupanya telah jatuh cinta pada wanita yang sudah jadi istri orang itu. Namun ia juga tidak bisa menahan apabila ada uang Rp 500 juta sebagai ganti uangnya yang telah di pake oleh Ndika.
Hamid : Jadi intinya, dulu abang janji bayar dengan uang. Bukan tanah. Jadi ada uang, istri abang kembali.
Mendengar ucapan terakhir dari Hamid, Ndika akhirnya pulang dengan tangan kosong.
"Awas kau Hamid. Malam ini akan ku habisi engko" gumam Ndika dalam hatinya.
Sore hari pun tiba, suara burung-burung disekitar rumahan di Desa itu terdengar begitu merdu. Terlihat Ndika sedang menggegam sebilah parang berbentuk Samurai.
Lalu gelap datang menyelimut desa itu. Suara beburung tadi hilang ditelan melam. Tak ada lagi senyuman mentari, tak ada lagi suara anak-anak kecil teriak kegeringan bermain di halaman.
Dengan kaki terbata-bata, Ndika terlihat turun dari motor seolah siap menghilangkan nyawa Hamid.
Karena kondisi remang-remang, pria yang mirip dengan Hamid terlihat sedang santai bermain HP di teras rumah berlantai keramik putih itu.
Dengan perlahan, ia menghampiri dari belakang lalu menganyunkan pedang itu ke leher pria itu.
Begitu kepala itu jatuh, Ndika jadi panik karena ternyata pria itu bukan Hamid. Melain Aimin adik Hamid.
Bersambung.....
Cerita ini adalah fiktif belaka. Jadi apabila ada kesamaan ; Nama, cerita dan tempat tidak lain karena kebetulan...
Sekian dan sampai jumpa pada episode berikutnya