Senja
baru saja turun di kaki bukit Lawang saat sebuah tangan tersodor di depanku
seperti mengajak bersalaman. Tangan mungil itu seolah menunggu tanganku
menyambutnya. Aku setengah ragu menjabat tangan itu. Kulihat mata itu berbinar
dan senyumnya melebar tanda bahagia. Sesaat dia beranjak ke sebuah pohon bunga
kertas yang tumbuh tak jauh dari kami dan kembali membawa setangkai bunga itu.
Ia menggerakkan tangannya beberapa kali seperti bahasa isyarat kepadaku,
sementara aku hanya memperhatikannya dengan heran tanpa tahu apa yang harus
kuucapkan. Tiba-tiba saja dia menyematkan bunga kertas itu di telingaku. Aku
kaget dan bingung tapi tak berani juga menolak karena aku sendiri bingung
dengan keberadaannya. Di tengah kebingunganku datang seorang suster menghampiri
dan mengajak anak itu bicara dengan bahasa isyarat. Sejenak kemudian dia
memandangku, melambaikan tangannya dan kemudian berlari pergi.
“Bunga
yang indah cocok di telingamu.” Suster itu duduk disampingku. “Akhirnya ada yang
mau menjabat tangannya.” Lanjutnya beberapa saat kemudian.
“Siapa
anak itu bu?” tanyaku penasaran.
“Namanya
Noah. Dia dititip disini dari masih kecil. Ibunya pergi mencari ayahnya yang
ada di Amerika, sampai sekarang belum datang lagi untuk menengok atau
menjemputnya.” Suster itu mendesah. Tiba-tiba saja wajahnya berubah sedih.
“Kok
dicari bu, ayahnya memangnya tidak kasitau dimana tinggalnya.” Makin penasaran
aku dengan cerita ibu suster itu.
Menurut
cerita ibunya sebelum pergi, ayah Noah adalah orang Amerika yang kerja di
Surabaya. Mereka menikah tanpa ibu nya tau tentang seluk beluk keluarga
ayahnya. Selama 1 tahun menikah mereka sangat bahagia, sampai pada suatu saat
ayahnya harus kembali ke Amerika karena urusan yang sangat penting, tetapi
setelah sekian lama ayahnya malah tidak kunjung datang dan juga tidak ada
kabar.
“Waktu itu belum ada medsos seperti skrg,
sehingga ibunya tidak bisa mencari tahu keberadaan ayahnya.” Lanjut suster.
“Tapi kenapa
harus dicari, kenapa ibunya tidak disini saja membesarkan anaknya. Atau membawa
Noah bersama dia ke Amerika.” Aku menggebu-gebu.
“Ceritanya
tidak sesederhana yang kamu bayangkan sayang, ceritanya berliku-liku dan rumit.
Ada pihak-pihak yang tersakiti dengan pernikahan orang tua Noah, termasuk kakek
neneknya, mereka memutuskan hubungan dengan ibunya.” Suster itu menghela nafas.
“Ibu kepala SLB kami adalah sahabat ibu Noah, karena itu ibu kepala membantu
menjaga Noah sampai ibunya kembali lagi.” Suster itu mendongak. “Sudah hampir
10 tahun, dia belum juga memberi kabar. Noahku yang malang,” Suster mengatupkan
kedua tangannya di dada dan mulai menangis.
“Moga ibunya
cepat datang.” aku merasa terhanyut dengan cerita suster Marni, aku tahu namanya
saat kami hendak pulang keesokan harinya.
Pagi-pagi
sekali aku telah berjalan-jalan berkeliling Sekolah tempat anak-anak tuna rungu
itu. Aku sendiri berada di tempat itu karena mewakili sekolahku untuk mengikuti
lomba tingkat SD di level propinsi untuk bidang IPA. Pengalaman yang sangat
berkesan bagiku, bertemu dengan berbagai macam orang, suku, agama dan ras yang
berbeda-beda. Tetapi kami adalah Bhineka Tunggal Ika. Sangat bisa kami rasakan
persatuan dalam keberagaman itu.
Dan tentunya
yang paling menarik dan tidak akan pernah terlupakan adalah kisah pertemuanku
dengan Noah. Anak bisu yang misterius itu. Bagaimana tidak, dia mengganggu
terus menerus teman-temanku yang sedang bermain di taman dekat SLB C itu. Dia
selalu berusaha mengajak mereka untuk berjabat tangan dan berkomunikasi. Tapi mereka
malah ketakutan, menolak, ada yang marah dan ada yang pergi begitu saja. Menurut
suster Marni akulah orang pertama yang mau menyambut tangannya dan berbicara
padanya. Mengingat hal ini aku sendiri bisa meneteskan air mata karena kenapa
hanya aku yang Tuhan sentuh hatinya sehingga bisa memberi secerca kebahagiaan
kepada Noah yang malang.
“Ini untukmu. Maaf
tidak bisa memberi yang lebih baik.” Aku memberikan sebuah gelang bambu yang
berukir namaku kepada anak tuna rungu yang malang itu. Kulihat dia begitu
gembira, memegang erat tanganku, kemudian memberi beberapa gerakan isyarat yang
mungkin artinya ucapan terimakasih atau ungkapan kebahagiaan. “Moga kamu bisa
cepat ketemu ibumu dan berbahagia.” Aku tiba-tiba merasa sesak. Kurasa mataku
mulai berkaca-kaca. “Kita pastinya tidak akan ketemu lagi, aku tidak memiliki
kesempatan untuk melihatmu disini, karena aku hanya dari desa terpencil yang
aku sendiri bahkan tak tahu letak dan arahnya dari sini.” Aku menggenggam
tangan Noah. “Ini adalah pertemuan kita yang terakhir. Aku pastinya akan
mengingatmu sebagai kenangan yang manis dalam hidupku. Dan terus berdoa supaya
kamu bisa bertemu ibumu.”
Aku melambaikan
tanganku tanda perpisahan. Kulihat matanya tidak bergeming menatapku yang
berjalan menjauh. Saat aku menoleh sekali lagi, dia sudah menghilang. Ah... mungkin
aku yang terlalu lebay, terlalu menganggap pertemuan dengan anak tuna rungu itu
sebuah moment yang begitu spesial. Tetapi tidak begitu dengan Noah sendiri,
mungkin dia seperti anak-anak kecil lainnya, yang tidak begitu menjiwai setiap
moment, bagi mereka setiap kejadian layaknya hanya sebuah main-main, tidak ada
yang serius untuk dilakukan dan dipikirkan.
Pada akhirnya,
setelah beberapa bulan berlalu. Akhirnya dengan sendirinya aku pun melupakan kesan
dan perasaanku saat-saat pertemuan dengan Noah. Kini sudah 10 tahun berlalu. Aku
masih suka mengingat pengalamanku ikut lomba di SLBC di Lawang itu dengan
sedikit kisah haru pertemuan dengan Noah. Tapi hanya sekedar kenangan yang
tidak berarti.
Tunggu dulu,
apa benar kenangan saat bertemu dengan Noah tidak berarti. Sepertinya, harus
ditunggu kisah ku selanjutnya ya...
Bersambung
di Part 3...