CINTA ITU ANEH....Part 2



Senja baru saja turun di kaki bukit Lawang saat sebuah tangan tersodor di depanku seperti mengajak bersalaman. Tangan mungil itu seolah menunggu tanganku menyambutnya. Aku setengah ragu menjabat tangan itu. Kulihat mata itu berbinar dan senyumnya melebar tanda bahagia. Sesaat dia beranjak ke sebuah pohon bunga kertas yang tumbuh tak jauh dari kami dan kembali membawa setangkai bunga itu. Ia menggerakkan tangannya beberapa kali seperti bahasa isyarat kepadaku, sementara aku hanya memperhatikannya dengan heran tanpa tahu apa yang harus kuucapkan. Tiba-tiba saja dia menyematkan bunga kertas itu di telingaku. Aku kaget dan bingung tapi tak berani juga menolak karena aku sendiri bingung dengan keberadaannya. Di tengah kebingunganku datang seorang suster menghampiri dan mengajak anak itu bicara dengan bahasa isyarat. Sejenak kemudian dia memandangku, melambaikan tangannya dan kemudian berlari pergi.
                
“Bunga yang indah cocok di telingamu.” Suster itu duduk disampingku. “Akhirnya ada yang mau menjabat tangannya.” Lanjutnya beberapa saat kemudian.
               
“Siapa anak itu bu?” tanyaku penasaran.
                
“Namanya Noah. Dia dititip disini dari masih kecil. Ibunya pergi mencari ayahnya yang ada di Amerika, sampai sekarang belum datang lagi untuk menengok atau menjemputnya.” Suster itu mendesah. Tiba-tiba saja wajahnya berubah sedih.
                
“Kok dicari bu, ayahnya memangnya tidak kasitau dimana tinggalnya.” Makin penasaran aku dengan cerita ibu suster itu.
                
Menurut cerita ibunya sebelum pergi, ayah Noah adalah orang Amerika yang kerja di Surabaya. Mereka menikah tanpa ibu nya tau tentang seluk beluk keluarga ayahnya. Selama 1 tahun menikah mereka sangat bahagia, sampai pada suatu saat ayahnya harus kembali ke Amerika karena urusan yang sangat penting, tetapi setelah sekian lama ayahnya malah tidak kunjung datang dan juga tidak ada kabar.

“Waktu itu belum ada medsos seperti skrg, sehingga ibunya tidak bisa mencari tahu keberadaan ayahnya.” Lanjut suster.

“Tapi kenapa harus dicari, kenapa ibunya tidak disini saja membesarkan anaknya. Atau membawa Noah bersama dia ke Amerika.” Aku menggebu-gebu.

“Ceritanya tidak sesederhana yang kamu bayangkan sayang, ceritanya berliku-liku dan rumit. Ada pihak-pihak yang tersakiti dengan pernikahan orang tua Noah, termasuk kakek neneknya, mereka memutuskan hubungan dengan ibunya.” Suster itu menghela nafas. “Ibu kepala SLB kami adalah sahabat ibu Noah, karena itu ibu kepala membantu menjaga Noah sampai ibunya kembali lagi.” Suster itu mendongak. “Sudah hampir 10 tahun, dia belum juga memberi kabar. Noahku yang malang,” Suster mengatupkan kedua tangannya di dada dan mulai menangis.

“Moga ibunya cepat datang.” aku merasa terhanyut dengan cerita suster Marni, aku tahu namanya saat kami hendak pulang keesokan harinya.

Pagi-pagi sekali aku telah berjalan-jalan berkeliling Sekolah tempat anak-anak tuna rungu itu. Aku sendiri berada di tempat itu karena mewakili sekolahku untuk mengikuti lomba tingkat SD di level propinsi untuk bidang IPA. Pengalaman yang sangat berkesan bagiku, bertemu dengan berbagai macam orang, suku, agama dan ras yang berbeda-beda. Tetapi kami adalah Bhineka Tunggal Ika. Sangat bisa kami rasakan persatuan dalam keberagaman itu.

Dan tentunya yang paling menarik dan tidak akan pernah terlupakan adalah kisah pertemuanku dengan Noah. Anak bisu yang misterius itu. Bagaimana tidak, dia mengganggu terus menerus teman-temanku yang sedang bermain di taman dekat SLB C itu. Dia selalu berusaha mengajak mereka untuk berjabat tangan dan berkomunikasi. Tapi mereka malah ketakutan, menolak, ada yang marah dan ada yang pergi begitu saja. Menurut suster Marni akulah orang pertama yang mau menyambut tangannya dan berbicara padanya. Mengingat hal ini aku sendiri bisa meneteskan air mata karena kenapa hanya aku yang Tuhan sentuh hatinya sehingga bisa memberi secerca kebahagiaan kepada Noah yang malang.

“Ini untukmu. Maaf tidak bisa memberi yang lebih baik.” Aku memberikan sebuah gelang bambu yang berukir namaku kepada anak tuna rungu yang malang itu. Kulihat dia begitu gembira, memegang erat tanganku, kemudian memberi beberapa gerakan isyarat yang mungkin artinya ucapan terimakasih atau ungkapan kebahagiaan. “Moga kamu bisa cepat ketemu ibumu dan berbahagia.” Aku tiba-tiba merasa sesak. Kurasa mataku mulai berkaca-kaca. “Kita pastinya tidak akan ketemu lagi, aku tidak memiliki kesempatan untuk melihatmu disini, karena aku hanya dari desa terpencil yang aku sendiri bahkan tak tahu letak dan arahnya dari sini.” Aku menggenggam tangan Noah. “Ini adalah pertemuan kita yang terakhir. Aku pastinya akan mengingatmu sebagai kenangan yang manis dalam hidupku. Dan terus berdoa supaya kamu bisa bertemu ibumu.”

Aku melambaikan tanganku tanda perpisahan. Kulihat matanya tidak bergeming menatapku yang berjalan menjauh. Saat aku menoleh sekali lagi, dia sudah menghilang. Ah... mungkin aku yang terlalu lebay, terlalu menganggap pertemuan dengan anak tuna rungu itu sebuah moment yang begitu spesial. Tetapi tidak begitu dengan Noah sendiri, mungkin dia seperti anak-anak kecil lainnya, yang tidak begitu menjiwai setiap moment, bagi mereka setiap kejadian layaknya hanya sebuah main-main, tidak ada yang serius untuk dilakukan dan dipikirkan.

Pada akhirnya, setelah beberapa bulan berlalu. Akhirnya dengan sendirinya aku pun melupakan kesan dan perasaanku saat-saat pertemuan dengan Noah. Kini sudah 10 tahun berlalu. Aku masih suka mengingat pengalamanku ikut lomba di SLBC di Lawang itu dengan sedikit kisah haru pertemuan dengan Noah. Tapi hanya sekedar kenangan yang tidak berarti.

Tunggu dulu, apa benar kenangan saat bertemu dengan Noah tidak berarti. Sepertinya, harus ditunggu kisah ku selanjutnya ya...

Bersambung di Part 3...

               

Jonny Richards

Templateify is a site where you find unique and professional blogger templates, Improve your blog now for free.

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post

Terkini