Sudah beberapa hari ini Karin merasa resah dengan pemberitaan tentang RKUHP tentang nasib perempuan yang kerja malam. Dengar-dengar sih, perempuan yang kedapatan pulang malam sendirian, tanpa dijemput atau berkeliaran malam-malam akan didenda entah berapa-berapa juta gitu. Hal ini membuatnya sedikit banyak berfikir keras apa yang harus dilakukannya jika benar RUU itu disahkan. Sedangkan dia adalah salah satu karyawati yang memiliki jadwal shift malam.
Sedang asik-asiknya merenung Karin tersentak ketika sebuah tangan tiba-tiba membekap mulutnya, belum sempat Karin menyadari apa yang terjadi, dia sudah terkulai tak sadarkan diri dalam dekapan sosok yang membekapnya itu.
"Dimana aku ini?" Karin perlahan-lahan membuka matanya. Nampak samar-samar olehnya seseorang berdiri di samping ranjang dia berbaring. Perlahan orang itu menunduk dan memegang tangannya.
"Syukurlah kamu sudah sadar nak." Ucap sosok tersebut yang adalah seorang wanita paru baya.
"Kenapa denganku dan dimana aku ini bu?" tanya Karin setengah penasaran setelah dia dengan susah payah duduk dari tidurnya.
"Semalam ibu pas lewat di jalan itu dan ibu melihat orang itu membekapmu, ibu langsung teriak-teriak minta tolong. Ibu lupa kalo disitu sepi, dan ibu nyaris dipukul sama orang berbaju hitam-hitam itu juga. Untung ada anak muda yang datang menolong ibu. Orang itu dibikin ketakutan dan lari."
"Maaf saya sudah menyusahkan ibu." Karin setengah membungkukkan badannya kepada wanita tersebut.
"Tidak perlu nak, tidak perlu.. kita berterimakasih kepada Allah yang sudah mengirimkan malaikat penolong bagi kita. Nak Ihsan namanya, oya panggil saja saya bu Ayu."
"Dimana orang yang menolong kita itu bu Ayu?" Karin rasanya tidak sabar untuk bertemu dengan penyelamatnya yang lain itu.
"Katanya dia harus mengambil sesuatu, dia akan kembali sebentar lagi. Dia tidak memperbolehkan ananda untuk pulang, karena takutnya orang hitam-hitam itu memang sudah mengincar ananda sudah lama dan akan mencari ananda lagi."
"Tapi bagaimanapun saya harus tetap pulang, karena orang tua saya akan khawatir dan juga saya tidak bisa tidak masuk kerja." Karin baru akan melanjutkan berkata-kata ketika dari luar terdengar suara orang memanggil ibu Ayu. Wanita itu segera beranjak keluar dan beberapa saat sudah kembali dengan seorang pemuda yang wajahnya terlihat agak pucat.
"Ini dia nak Ihsannya." Bu Ayu meninggalkan mereka setelah mengucapkan beberapa kalimat.
"Terimakasih karena sudah menolong saya." Karin berusaha mau berdiri untuk memberi salam kepada pria itu, tetapi dengan sigap Ihsan menahannya untuk tetap duduk.
"Tidak perlu berterimakasih, sudah seharusnya saya tolong kamu, mulai hari ini saya akan mengantar dan menjemputmu kemana dan darimana saja."
"Tapi kenapa?" Karin terbelalak dengan perkataan pria itu.
"Karena saya tidak mau terjadi apa-apa denganmu lagi." Pria itu memandang tajam Karin. Sementara Karin sendiri merasa ada yang aneh dengan tatapan itu. Tiba-tiba saja dia merasa jantungnya berdetak cepat. Ada desiran-desiran aneh ketika tangan pria itu menyentuh bauhnya.
"Tapi saya bukan siapa-siapamu?" Karin menatap mata pria itu.
"Apa kamu sudah lupa dengan saya?" Pria itu mengeluarkan sebuah benda dari saku celananya. Karin terbelalak ketika melihat benda itu.
"Itu...itu kotak musik kecilku. Kenapa ada padamu?" Kini giliran Karin yang menatap tajam pada Ihsan.
"Karin, bukankah kamu yang memberikan ini pada saya, saat kita berpisah dulu, saat kami harus pindah ke Swiss." Karin tersentak, ingatannya mulai melanglang ke masa lampau. Terlintas diingatannya kalau 20 tahun silam, dia memiliki teman lelaki sebaya yang papanya adalah seorang ekspatriat Swiss yang menikah dengan mamanya yang asli Indonesia. Mereka sangat akrab, dan bahkan Karin seringkali diajak pergi jalan. Dalam banyak acara mereka selalu mengikut sertakan Karin. Ya, wajah Ihsan kecil mulai terpampang jelas didepannya. Dia menatap dalam-dalam mata Ihsan, dan dia mulai menemukan mata kecil Ihsan di dalam mata pria yang sekarang ada di depannya. Tanpa dia sadari ada bulir air mengembang dipelupuk matanya yang hampir mau jatuh. Tetapi dengan lembut ibu jari Ihsan menyeka butiran itu dari pelupuk mata Karin. Dengan senyum bahagia, Karin menghambur ke dalam pelukan Ihsan. Ihsan memeluk erat badan mungil Karin dan beberapa kali mengecup kening gadis itu.
"Aku pikir aku tidak akan bertemu denganmu lagi." Karin melepaskan pelukannya perlahan.
"Bukankah aku dulu berjanji pasti akan kembali. Meskipun tidak ada waktu untuk bertemu. Tapi aku pasti tetap akan datang mencarimu."
"Trimakasih, kamu tetap Ihsan yang dulu. Selalu menepati janjimu." Mereka kembali saling berpelukan. Mereka begitu bahagia karena bisa bertemu setelah sekian lama terpisah.
“Bu Ay, saya masih tidak mengerti kenapa bu Ayu harus menemani saya menunggu Ihsan. Kenapa dia tidak langsung menjemput saya di rumah? Orang tua saya pasti senang melihat Ihsan.” Dengan penasaran Karin membuka percakapan dengan bu Ayu disuatu siang, saat mereka sama-sama menunggu Ihsan di tempat yang sudah ditetapkan Ihsan.
Seperti yang sudah dijanjikan oleh Ihsan sebelumnya bahwa dia akan mengantar dan menjemput Karin kemana dan darimana pun setiap saat. Tetapi yang membuat penasaran Karin adalah Ihsan tidak menjemput langsung dirinya ke rumah, melainkan meminta bu Ayu, wanita yang juga mencoba menolongnya ketika ada orang yang berusaha berbuat jahat ketika dia pulang dari kerjanya ketika itu.
“Saya juga tidak tahu nak Karin, tetapi nak Ihsan bilang dia akan menampakkan diri pada keluargamu pada saatnya nanti.”
“Tapi bu, Ihsan…” Belum selesai Karin barkata, sudah berhenti sebuah mobil di depannya. Perlahan kaca jendela mobil itu turun dan Nampak seorang pria duduk di depan kemudi tersenyum kepada mereka. Karin dan Bu Ayu segera naik.
“Kamu akan tahu jawabannya nanti kenapa aku tidak muncul untuk say hello sama keluargamu.”
“Kok..” Karin terkaget-kaget karena dia sangat yakin bahwa dia belum bertanya apa-apa kepada Ihsan. Dan hanya kepada ibu Ayu. Dan itupun sebelum Ihsan datang. Apakah Ihsan memiliki kemampuan untuk membaca hati dan pikiran orang. Karin sungguh makin penasaran dengan Ihsan.
“Oya bu Ayu, 5 hari lagi papa mama saya akan datang kesini. Ibu Ayu tolong bantu rapikan rumah sebelum mereka datang ya.” Ucap Ihsan sesaat sebelum ibu Ayu turun dari mobilnya. Bu Ayu mengangguk sebelum akhirnya membuka pintu mobil dan melangkah keluar.
“Kenapa…?” Belum siap Karin berkata, Ihsan sudah menyelanya.
“Sudah kukatakan, kamu akan mengerti pada akhirnya, saat ini turuti saja apa yang saya katakan.” Karin memandang Ihsan penuh heran, dia benar-benar tak percaya Ihsan bisa memiliki kemampuan untuk membaca jalan pikirannya.
“Tunggu aku de depan tempat kerjamu, jangan pernah pulang tanpa diriku.” Karin mengangguk penuh semangat. Tangan kekar Ihsan meraih kepalanya membawanya dekat bibirnya. Karin memejamkan matanya ketika bibir pria itu mendarat di keningnya. Dia merasakan sesuatu mengalir hangat diseluruh tubuhnya.
“Trimakasih sudah menjagaku.” Karin membuka pintu mobil dan dengan pelan melangkahkan kakinya ke luar mobil. Dilambaikannya tangannya kepada Ihsan sesaat sebelum dia memasuki tempat kerjanya.
Sebenarnya dia penasaran dengan semua yang telah terjadi beberapa hari ini. Tentang orang yang menyergapnya saat pulang kerja, kemunculan Ihsan tiba-tiba dan cara aneh dia memperlakukan dirinya. Tetapi yang membuatnya lebih penasaran adalah sikap salah seorang teman sekerjanya, Joni namanya. Sejak kejadian itu, Joni seperti menghindar darinya. Bahkan Joni seperti melihat hantu jika bertemu dengannya. Seringkali jika Karin mau mengajaknya ngobrol, Joni akan dengan cepat-cepat mencari alasan untuk segera pergi dari nya.
“Apakah Joni ada hubungan dengan orang yang menyergap aku itu, atau….” Karin tiba-tiba merasa ngeri ketika dia tiba pada satu terkaan bahwa Joni mungkin adalah orang itu. “Ah..tidak-tidak, jangan mikir yang aneh-aneh ya Karin.. “
“Eh Jon, bisa tolong aku bantu itungin jumlah Essenzo Oil yang ada di rak itu donk!” Si Joni bukannya mengiyakan atau mendekat ke Karin, dia malahnya cepat-cepat pergi. “aneh… ada apa ya sama si Joni?”
Karin adalah karyawan baru di sebuah minimarket di dekat kota Surabaya, Dia baru 2 bulan bekerja disitu. Ada 8 orang yang bekerja di situ, 4 shift pagi dan 4 lagi shift malam. Tetapi yang tidak pernah ganti shift adalah Joni, dia selalu memilih shift malam, jika dia dapat giliran shift pagi, dia akan bertukar shift dengan teman-teman yang mau masuk pagi.
Hari telah semakin larut ketika Karin menshutdown computer kasir dan mengunci safety box yang ada dimeja Kasir. Dia baru saja mengambil tasnya dari locker karyawan ketika Ihsan masuk dengan senyum misteriusnya. Bagi Karin senyum itu sangat indah, tetapi juga ada kesan dingin.
“Malam ini kamu mau kemana sebelum saya antar pulang?” Ihsan mengambil tangan Karin dan mengecupnya dengan pelan.
“Ehm.. tidak mau kemana-mana.” Karin memandang Ihsan dengan rasa terpesona yang begitu kuat. “Tapi besok, aku libur kerja, bisakah kita jalan-jalan keliling Surabaya?” Karin sedikit ragu jika Ihsan akan memenuhi permintaannya.
“Besok boleh, tetapi saya tidak bisa menemanimu jalan, saya hanya mengantar, jika kamu mau jalan, maka kamu harus pergi dengan ibu Ayu.”
“Whm, aku hanya mau keliling aja di dalam mobil, putar-putar kota, apakah kamu tidak ada waktu.”
“Oh.. kalo hanya keliling-keliling saja saya akan membawa kemanapun kamu mau.” Karin dan Ihsan beranjak meninggalkan toko dan segera masuk ke mobil Ihsan. Sebentar kemudian mobil telah melaju meninggalkan toko itu.
Karin menghentikan langkahnya di depan sebuah rumah yang lumayan besar dan asri. Dengan ragu dia menekan tombol bel yang ada di dekat pintu kabar. Setelah dipencetnya tombol bel itu beberapa kali, terdengar langkah dari dalam pagar. Tak berapa lama sebuah tangan terlihat mendorong pintu pagar dan muncul seorang wanita setengah baya.
"Cari siapa non?" wanita itu bertanya dengan lembut.
"Mau ketemu Ihsan bu. Orangnya ada?" Karin menjawab wanita itu dengan lembut juga. Wanita setengah baya itu memandangny penuh tanda tanya. Sejurus kemudian..
"Mari masuk Non." Wanita itu mempersilahkannya memasuki pintu pagar. Kemudian meminta Karin duduk dikursi yang ada di depan teras rumah itu. Tak berapa lama ia datang dengan seorang wanita yang Karin kenal.
"Tante." Karin bangkit dan mencium tangan wanita setengah bayah itu.
"Kamu...?"
"Karin tante.. kita dulu bertetangga di perumahan.... saya beberapa kali ikut kalo keluarga tante liburan... ingat tant?" Karin antusias menjelaskan.
"Ohh.. sekarang saya ingat. Kamu dulu sangat dekat dengan Ihsan. Bahkan Ihsan sering minta kami untuk bawa kamu kalo kami pulang ke negara papienya." wanita yang adalah mamienya Ihsan itu duduk dan meminta wanita yang tadi mempersilahkan Karin masuk untuk menyediakan minum pada Karin.
"Gimana kabar tante dan om sekeluarga?"
"Kami semua baik kecuali.... Bagaimana Karin dan keluarga?"
"Alhamdulillah baik semua tant." Karin sesekali melemparkan pandangannya kearah pintu kala-kala Ihsan keluar, karena pasti bibi tua tadi sudah memberitahu Ihsan perihal kedatangannya. Tapi hampir setengah jam dia disitu ngobrol dengan maminya Ihsan, tak ada tanda-tanda Ihsan keluar.
"Tante, saya kesini mau kasih kunci ini," Maminya Ihsan kaget demi dilihatnya kunci yang dipegang Karin. Dipandangnya dengan penuh tanda tanya wajah gadis didepannya.
"Ini kunci kamar Ihsan, bagaimana bisa ada ditangan Karin." Tanyanya kemudian menyelidik.
"Maaf tante, semalam waktu Ihsan mengantar saya pulang, kunci ini tanpa sengaja nyangkut di tas saya. Saya telp bu Ayu tidak dijawab, saya tidak punya nomor Ihsan. Jadi pagi ini saya kesini, takutnya kunci ini sangat penting."
"Mengantar..? Bu Ayu..?" Mami Ihsan semakin terkejut, terlihat bagaimana matanya sampai terbelalak menatap Karin. Bibi yang membantu rumah itu juga kelihatan terkejut saat dia melewati mereka dengan sapu ditangan. Sepertinya dia akan menyapu halaman, dan sapu yang dia pegang jatuh seketika saat mendengar cerita Karin.
"Iya tant." Karin merasa aneh dengan reaksi mereka.
"Sejak kapan kamu bertemu Ihsan?" Mami Ihsan menyelidik.
"Seminggu yang lalu tant, saat itu saya sedang dalam bahaya. Kalo tidak ada Ihsan dan bu Ayu. Mungkin saat ini entah saya masih hidup atau tidak." Karin begitu antusias bercerita karena memang pada saat itu seperti mukjizat baginya. Selain lolos dari bahaya, dia juga bisa bertemu kembali dengan cinta masa kecilnya. Mengingat moment itu, dia menjadi berbunga-bunga dan tiba-tiba menjadi sangat ingin melihat Ihsan. Dia begitu merindukan sosok itu dalam sekejap. Rindunya seperti tak terbendung, dia kembali menyapukan pandangannya ke arah pintu dan berharap kemunculan Ihsan.
"Karin.. apakah kamu bercerita yang sesungguhnya?" Mami Ihsan sepertinya berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
"Tentu saja tante. Ehm apakah Ihsan masih tidur atau lagi tidak di rumah tant, sebenarnya dia janji akan membawa saya ketemu tante hari ini, tapi saya duluan datang kesini mengantar kuncinya." Karin penasaran.
"Karin.. ayo ikut saya." Mami Ihsan menarik tangan Karin dan membawanya masuk rumah. Karin agak bingung, tetapi dia berfikir mungkin maminya Ihsan akan mempertemukannya dengan Ihsan. Mungkin Ihsan masih tidur dan maminya tidak mau mengganggu putranya jadi dia harus membangunkannya sendiri. Dan benar saja Mami Ihsan membawanya langsung ke depan kamar Ihsan, hanya saja yamg menjadi tanda tanya adalah pintu kamar itu terkunci dan mami Ihsan menyuruhnya untuk membuka pintu itu dengan kunci yang dipegangnya. Dengan agak ragu di masukkannya anak kunci itu ke lubang nya dan perlahan didorongnya pintu itu ketika kunci telah terbuka. Ketika pintu telah terbuka, tidak ada siapapun di kamar itu. Kamar yang luasnya kira-kira 5x5 meter itu dalam keadaan tertata rapi. Ada sebuah tempat tidur dengan sprai, bantal guling dan bed cover berwarna burgandy, warna kesukaan Ihsan. Ada sebuah rak kayu yang berisi beberapa ornament dan sederet buku disamping kiri tak jauh dari tempat tidur, meja dengan satu kursi dekat dengan rak. Dan yang mengejutkan Karin tentunya sebuah foto Yang terletak Di dinding sebelah kanan tempat tidur. Foto dengan ukuran poster itu adalah foto saat dia Dan Iihsan masih kecil. Tepatnya diambil saat mereka berlibur ke bromo seminggu sebelum Ihsan Dan keluarganya pindah ke Luar Negri.
"Saya tidak menyangka, Ihsan Masih menyimpan foto Kami."
"Kalau saja Kami tahu bahwa cinta nya pada Karin begitu Dalam Kami tidak Akan memaksakan kehendak." Mami Ihsan mendesah panjang. "Sekarang menyesal pun tiada arti." Dia menoleh ke arah Karin Dan meraih kedua tangan gadis itu. "Tante tidak tau apa Yang Akan terjadi kedepannya dengan Ihsan. Tapi dia bahkan sanggup menembus batas alam untuk menemukan cinta ssejatinya."
Karin memandang maminya Ihsan dengan penuh tanda Tanya. "Apa maksud tante? Ihsan..?"
Wanita paro Baya itu tidak menjawab, tetapi tangannya Yang sejak tadi memegang handphone membuka sesuatu Di handphone tersebut Dan memberikan hp tersebut pada Karin. Karin masih tidak mengerti maksud maminya Ihsan. Tetapi ketika dia melihat foto-foto yang ada di dalam hp tersebut, dia tertegun, bingung dan mendadak hatinya sangat teramat sedih dan takut.
"Ini...semua.. apa maksudnya tant, apa yang terjadi dengan Ihsan?" Karin dengan terbata-bata akhirnya membuka suaranya.
"Bukankah kamu sudah melihatnya dengan jelas. Waktu kejadian itu dan bagaimana saat ini kondisinya." Mami Ihsan berkata dengan suara yang parau menahan isak.
"Tapi... bagaimana mungkin. Saya bertemu dengannya seminggu yang lalu. Dihari yang sama." Karin benar-benar tidak percaya dengan apa yang telah dialaminya. Di hp mami Ihsan terlihat Ihsan foto-foto kecelakaan maut yang dialami Ihsan, mobilnya yang rinsek, kondisi Ihsan ketika dikeluarkan dari mobil dan beberapa foto yang memperlihatkan Ihsan sedang dirawat di Rumah sakit. Jika dilihat dari semua foto-foto itu, saat ini kondisi Ihsan masih koma. Dan yang sangat mengejutkan dia adalah saat kecelakaan itu, Ihsan sedang bersama dengan bu Ana, ART mereka dan bu Ana sendiri dinyatakan meninggal di tempat dalam sebuah screen shoot berita dalam hp tersebut. Karin benar-benar tidak percaya dengan yang dia lihat di hp itu.
"Itu kenapa tante bilang cintanya padamu begitu besar, sampai dia bisa menembus jarak yang begitu jauh untuk bisa menemukanmu dan bahkan menyelamatkanmu. Sebagai maminya, saya juga hampir tidak percaya. Karena setiap hari saya menungguinya di rumah sakit dalam keadaan koma. Jika kamu tidak datang membawa kunci kamarnya dan menceritakan tentangnya, mungkin tante juga tidak akan tau maksudnya meminta tante pergi ke Indonesia untuk menemukanmu."
"Tapi, bagaimana semua ini.. saya benar-benar tidak mengerti." Karin sungguh bingung dengan apa yang telah dialaminya. Belum lagi Karin berkata-kata kembali, sebuah panggilan masuk, video call tertulis dari daddynya Ihsan. Karin memberikan hp itu kepada maminya Ihsan.
"Hi dad, how was our son's condition?" Mami Ihsan membuka suaranya.
"No changes, still the same as before." Suara dari seberang terdengar lirih. "Have you started to find that girl for him?"
"I havn't but she is here now." Mami Ihsan mendekatkan hp ke depan Karin. "See... here is she." Karin sedikit menundukkan kepala dan memberi salam kepada pria tengah baya di layar hp tersebut.
"Bagaimana keadaan Ihsan om?" Suara Karin terbata menahan sedih yang luar biasa.
"Seperti kamu lihat." Daddy Ihsan mendekatkan hp ke arah Ihsan sehingga Karin bisa melihat begitu jelas wajah Ihsan dalam keadaan koma. Tak terasa air matanya mulai mengembang keluar.
"Katakan sesuatu padanya, mungkin dia akan mendengarmu." Mami Ihsan memeluk pundak Karin dan mengusapnya dengan lembut. Sementara Daddy Ihsan telah mendekatkan hp ke telingan Ihsan.
"Ihsan, ini aku Karin.." Karin diam sejenak, isaknya tertahan. "Jika benar kamu cinta sama aku, sayang sama aku, kamu harus sembuh, kamu harus bangun, aku akan menunggumu. I love you Ihsan." Karin mengusap pipinya yang mulai basah dengan air. Dilihatnya butiran air keluar dari mata Ihsan yang terpejam.
"Lihat, dia meresponmu sayang. Ihsan.. kamu harus bangun, mamy telah menemukan gadismu. Mamy akan membawanya padamu segera." Mami Ihsan begitu bahagia demi dilihatnya ada respon dari putranya yang telah koma hampir seminggu itu.
Karin memandangi wajahnya yang telah dipoles sedemikian rupa, sehingga bahkan dia sendiri hampir tidak mengenali wajahnya. Sementara ibunya sibuk merapikan gaun yang melekat di tubuhnya. Gaun warna burgandy itu terlihat elegan dikenakannnya. Sangat serasi dengan make upnya.
“Ibu tidak menyangka, hari ini akhirnya datang.. Begitu cepat.” Ibu Karin mengusap air matanya yang mulai menetes.
“Ibu jangan sedih gitu, Karin kan tidak pergi jauh.”
Karin memeluk ibunya dengan lembut. Sebenarnya dia juga merasa sedih, dia tidak menyangka bahwa dia akan secepat ini mengakhiri masa gadisnya. Menikah tidak pernah terlintas dalam pikirannya selama ini, tetapi dia tidak akan bisa tidak menikah dengan pria yang sangat dicintainya dan mencintainya. Pengalaman supra naturalnya dengan Ihsan membuatnya tidak berfikir panjang untuk mengiyakan maminya Ihsan saat melamarnya kepada orang tuanya. Meski mula-mula orang tua Karin bingung karena ada yang mendadak melamar anaknya, tetapi pada akhirnya mereka mengerti dan menyetujui pernikahan itu.
Karin telah duduk di hadapan penghulu, menunggu dengan hati berdebar-debar akan kedatangan Ihsan. Selama ini mereka hanya berkomunikasi melalui handphone. Terakhir mereka berkomunikasi sehari sebelumnya. Ihsan telah bangun dari komanya, hanya saja kecelakaan yang begitu para telah menyebabkan kelumpuhan pada kakinya, dan merusak beberapa jaringan pada otaknya, sehingga dia tidak bisa bicara. Sehingga jika mereka melakukan video call maka Ihsan akan merespon Karin dengan tulisan.
Karin baru saja meminta ibunya untuk menelepon maminya Ihsan ketika mereka memasuki rumah. Demi dilihatnya Ihsan, Karin hampir melompat menghambur ke arah Ihsan. Tapi ibunya memegang pundaknya dan memintanya tenang. Karin benar-benar ingin mencurahkan rasa rindunya, ingin rasanya dipeluknya erat dan diciumnya pria yang telah mengisi seluruh ruang hatinya itu. Karin memandang mesra Ihsan yang telah berada di sampingnya begitu sebaliknya Ihsan. Didalam diamnya tatapannya begitu dalam dan penuh dengan cinta.
Ijab kabul kali ini harus dilakukan berbeda karena kondisi Ihsan yang tidak memungkinkan. Ijab kabul terpaksa dilakukan dengan tulisan tangan oleh Ihsan karena dia tidak dapat berbicara. Meskipun demikian acara berlangsung dengan hikmat dan penuh haru. Pihak keluarga Karin yang melihat cinta keduanya begitu tulus dan besar, banyak dari mereka yang diam-diam mengagumi kedua muda mudi itu. Ibu dan Ayah Karin saling menguatkan ketika mereka hampir terisak-isak menahan haru yang luar biasa. Berbeda dengan keluarga Ihsan, hampir tidak ada dari mereka yang menangis. Tetapi keriangan dan kegembiraan begitu jelas terlihat di wajah mereka.
Karin terbangun dengan kaget ketika dilihatnya Ihsan tidak lagi terbaring disampingnya. Dia dengan segera bangun dan mencari keberadaan Ihsan. Dicarinya di kamar mandi, keluar kamar, ke seluruh ruangan rumah dan kemudian keluar rumah. Tetapi tidak ditemukannya juga suaminya itu. Dipanggilnya berkali-kali nama Ihsan, tetapi tak juga ada jawaban. Ihsan seperti lenyap begitu saja. Dia menangis dan menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar takut jika sampai terjadi apa-apa dengan pria yang begitu dicintainya itu.
Karin masih mendengar isak tangisnya ketika tiba-tiba matanya terbuka. Di usapnya pipinya yang telah basah dengan air mata. Perlahan dia bangun dari tidurnya, sejenak terdiam dan disapukannya pandangan matanya ke seluruh kamarnya. Dia kemudian menghela nafas dalam-dalam. Rupanya dia telah bermimpi.Mimpi yang begitu panjang dan aneh. Karin tersentak ketika terdengar panggilan dari luar kamar. Dia kemudian membuka pintu kamarnya perlahan. Didepan pintu ibunya tersenyum misterius.
“Tebak siapa yang datang?” Ibunya memberi isyarat kepada Karin untuk menemui tamu yang baru datang. Karin dengan ragu-ragu melangkahkan kakinya ke ruang tamu. Tapi begitu demi dilihatnya tamu itu, dia segera berlari ke kamar mandi. Menyikat giginya, membersihkan mukanya. Mengecek jikalau ada yang tidak beres dengan wajahnya. Dirapikannya rambutnya yang masih acak-acakan. Kemudian dengan langkah yang bersemangat dia kembali ke ruang tamu.
Pria yang dari tadi menunggu Karin di ruang tamu itu berdiri demi dilihatnya kedatangan gadis itu. Dengan senyum yang lembut dibukanya kedua lengannya siap menerima pelukan dari gadis cantik itu. Karin sejenak menatap wajah pria itu, wajah yang sama di dalam mimpinya. Karin membalas senyum pria itu dan menghambur ke dalam pelukannya.
“Kenapa baru sekarang datang melihatku..” Suara Karin tertahan menahan haru yang begitu sangat. “Apakah kamu akan pergi lagi Ihsan?” Karin mempererat dekapannya.
“Jika kamu menahanku, maka aku tidak akan pergi.” Ihsan mengecup kening Karin dengan lembut. Karin terus saja memeluknya erat seperti tidak mau lepas lagi. Dia sangat takut jika diingatnya mimpinya.
“Tentu saja aku menahanmu, aku tidak akan membiarkan kamu pergi. Aku bahkan akan mengikat tangan dan kakimu supaya kamu tidak bisa lari dariku.” Karin tertawa kecil, Ihsan pun tertawa mendengar ocehan gadis kecintaannya itu. Keduanya saling berpelukan dengan erat seolah tidak akan mau dipisahkan oleh apapun juga.