Berkali-kali
tanganku memutar gelombang radio di depanku. Lebih dari sepuluh lagu telah
kudengar. Tapi tetap saja tidak dapat menghapus ingatanku saat di sekolah tadi.
Aku merasa jengkel sekali. Ya.. aku sangat jengkel dan benar-benar sakit hati.
Aku tidak tahu mengapa cowok itu beserta dengan teman-teman segenknya
terus-terusan meledek dan menghinaku. Dia terus-terusan memojokkan aku di depan
teman-teman sekelas kami. Sehingga makin hari aku makin membencinya.
“Hai...Lihat ... Si Mitha pergi ke
pasar.” Farel berteriak meledekku.
“Ya... naik becak.” Sahut Beni
menyambung.
“Hei..lihat..lihat, si anak becak
datang.” Beberapa teman segenk Farel bersorak dan menepuk tangan menghina.
Aku merasa begitu panas
mendengarnya, tetapi aku tidak mungkin menghindarinya. Ya... aku memang anak
tukang becak. Ayahku adalah tukang becak, lalu apakah ada yang salah dengan
pekerjaan ayahku. Aku bertanya dalam hati sendiri. Mulutku hanya terkatup rapat
sambil memandangi Farel dan teman-temannya dengan pandang kebencian.
“Aduh.. Jangan memandangku gitu
donk.. Jadi takut.” Si Farel memandangku dengan tatapan menghina.
“Ya.. matanya aja seperti kupu-kupu
malam.” Beni berkata dengan agak ragu-ragu. Meskipun dia tidak memandangku,
tetapi aku tahu dia sedang memvonisku. Aku sangat kaget dengan apa yang dia
bilang. Dengan cepat aku merasa darahku seperti mendidih dan aku menjadi benar-benar
marah. Tiba-tiba saja aku sudah berada di depan Farel dan Beni. Sementara
teman-teman segenk mereka terbengong menunggu apa yang akan terjadi.
“Kenapa kalian mengatakan aku
kupu-kupu malam... kenapa? Aku kalian hina sebagai anak tukang becak, aku
terima. Karena memang itulah profesi ayahku. Hanya pekerjaan itu yang bisa
ayahku lakukan. Tidak seperti orang tua kalian yang orang berada. Mereka orang
terhormat dan berpangkat. Kalian adalah...” aku berhenti, kurasakan
tenggorokanku mulai ngilu dan mataku seperti ada air yang mulai mengembang.
“kalian adalah anak-anak yang manis, yang lahir dari rahim wanita terpandang,
lahir dari kalangan terhormat, sedang aku....aku hanya anak orang miskin, anak
orang tak punya. Tapi bukan berarti kalian bisa menghina-hina kami.” Aku
berhenti sejenak menyeka buliran air yang mulai mengalir dari mataku. “Aku
tahu, aku tidak pantas memiliki teman-teman seperti kalian. Aku hidup selalu
kekurangan. Dalam hidup kami masalah yang paling pelik adalah uang. Tapi kalian
harus tahu, uang tidak bisa membeli harga diri kami. Mengapa kalian selalu
berfikir bahwa orang miskin seperti kami bisa menjual diri demi uang. Kenapa
kalian tidak pernah menghargai orang miskin seperti kami. Kenapa kalian.. ?”
aku tidak meneruskan kata-kataku karna akhirnya aku terseduh dan meninggalkan
mereka yang terdiam entah apa yang ada dalam benak mereka.
Dan setelah kejadian itu, tidak ada
lagi suara-suara yang memanaskan telingaku dan mendidihkan darahku. Baik Farel,
Beni dan semua teman-teman mereka tidak pernah lagi mengolok dan
mencemoohkanku. Tetapi bagaimanapun aku telah terlanjur benci mereka.
Hari ini adalah hari minggu, seperti
biasa aku selalu datang ke sekolah untuk menyaksikan pertandingan basket.
Pertandingan ini selalu diadakan setiap hari minggu. Selain untuk menggalang
persahabatan, pertandingan ini juga diadakan untuk mencari pemain-pemain
berbakat dalam sekolah.
Irfan adalah salah satu pemain basket andalan di sekolahku. Dia selalu
bermain dengan total disetiap pertandingan. Irfan dan aku beda kelas. Dia di
kelas 2D sedang aku di kelas 2G. Kami sudah bersahabat sejak kelas 1 SMP. Dan
saat ini ketika kami sama-sama kelas 2SMA, Irfan menyatakan perasaannya yang
sebenarnya kepadaku. Karena kami merasa cocok satu sama lain, dan Irfan pun
tahu keadaan keluargaku, maka akupun menerimanya. Dan kami berpacaran sejak
beberapa bulan yang lalu.
Aku duduk di kursi nomor 2 dari depan. Irfan datang menghampiriku dan
duduk di dekatku. Peluhnya tampak menghiasi kening, hidung dan lehernya.
Kaosnya nampak basah oleh peluh. Aku menyodorkan handuk kecil yang kubawah
dalam tasku.
“Oya Mith, mungkin kita tak bisa ngerayain ultahku hari Sabtu.” Ucap
Irfan agak ragu kepadaku.
“Kenapa?” aku menatapnya penuh tanya.
“Ada urusan keluarga yang sangat penting.” Aku masih memandangnya
penasaran.
“Jadiii...”
“Jadi bagaimana kalau kita rayain pas minggunya aja.” Irfan berusaha
meyakinkanku bahwa meski perayaan ultahnya mundur sehari, tetapi asal kami bisa
merayakan bersama, itu sangat berarti baginya.
“Ok.” Aku mengulas senyum meski sedikit terbersit keraguan di hatiku.
Entah mengapa akhir-akhir ini aku tidak mudah percaya kepada Irfan. Dan aku
juga merasa dia sering tidak bisa meluangkan waktu bersamaku. Dia sering
memberi alasan-alasan yang justru membuat aku semakin ragu padanya. Linda,
sahabat cewekku bilang
jika cowok da banyak alasan, itu tandanya dia udah mulai mendua. Dan aku mempercayai
Linda.
Sejak tiga hari terakhir, aku memiliki kesibukan baru yaitu menerima
dan membaca surat kaleng. Kemudian disusul karangan bunga mawar merah dan
putih. Entah siapa yang mengirimkannya. Rasa penasaran tapi juga merasa
tersanjung membuatku menikmati setiap surat dan karangan bunga yang datang.
Dear Mitha,
Aku sebenarnya telah lama memperhatikan kamu. Maafkan aku telah
menyakiti hatimu. Sesungguhnya aku suka kamu.
AKU
Surat-surat selanjutnya hanya berbunyi, “Aku cinta kamu” dan “aku
menyayangimu.” Masih dari pengirim yang sama yaitu “AKU”. Sempat penasaran dan
berfikir keras mencari siapa pengirim surat-surat dan karangan bunga itu, pada
akhirnya aku menyerah dan mendiamkan saja surat-surat dan karangan bunga
tersebut.
“Apa Lind, tak bisa dimajukan atau diundur ya?” aku agak kaget
menerima telepon dari Linda. Dia memberitahuku jika acara lamaran kak Siska,
kakaknya Linda yang udah kuanggap sebagai kakakku juga akan diadakan dua hari
lagi. Itu artinya lamaran akan diadakan hari minggu. Sedang minggu aku sudah
ada janji merayakan ultah Irfan. Aku tidak mungkin tidak hadir di acara lamaran
kak Siska. Karena keluarga Lindalah yang selama ini begitu peduli padaku.
“Ok..Ok, aku pasti hadir donk. Iya banget, acara kak Siska kan melibatkan
dua keluarga besar. Iya, aku akan datang Sabtu malam supaya bisa aku
bantu-bantu kalian.” Aku mematikan hp ku dan meletakkannya di meja belajarku.
Aku mulai berfikir untuk menentukan tindakan apa yang harus kulakukan agar bisa
mengubah waktu acara perayaan ultah Irfan.
Aku mencoba menghubungi Irfan lewat hp untuk membicarakan kemungkinan
perayaan ultahnya. Apakah kami akan majukan hari ini ataukah dimundurkan hari
Senin. Tetapi udah kesekian kali aku memanggil ke nomornya, tetap saja tidak
ada jawaban. Pikirku kenapa tidak malam
ini saja aku datang membawa hadiah untuknya. Ya benar, malam ini saja aku
datang. Daripada makin lama makin jauh harinya perayaan itu. Bagus juga jika
aku kasih surprise ke dia.
Tanpa banyak pikir aku langsung pergi ke toko sport terdekat dan
mencari barang yang kiranya bisa dijadikan hadiah ultahnya Irfan. Setelah
memilih dan memilah berbagai macam pernak pernik olahraga khususnya basket,
akhirnya aku memilih sebuah frame foto yang berbentuk bola basket. Sangat lucu
dan unik menurutku. Tanpa banyak membuang waktu aku langsung pulang, membungkus
frame itu dengan sangat rapi dan unik.
Aku membuka pintu pagar rumah Irfan yang kebetulan tidak dikunci. Aku
tidak memencet bel lebih dulu karena biasanya Irfan hanya di rumah sendirian.
Kedua ortunya hanya datang tiap hari Sabtu-Minggu. Senin pagi mereka pergi
lagi. Kebetulan sejak 5 tahun yang lalu Papa Irfan ditugaskan di luar kota dan
mamanya harus mengikuti Papanya. Begitu juga adiknya yang masih duduk di kelas
5 SD, harus mengikuti mamanya karena masih belum bisa menjaga diri dan juga
karena dia cewek. Sedangkan Irfan tidak mau ikut, dia lebih memilih tetap
tinggal menjaga rumah mereka.
Keluarga Irfan memiliki seorang ART, namanya bu Titin. Biasanya bu
Titin tinggal bersama keluarga Irfan di rumah mereka. Tetapi sejak ortu Irfan
bertugas di luar kota, bu Titin memilih pulang pergi saat bekerja di keluarga
mereka. Karena pekerjaannya tidak sebanyak ketika ada keluarga itu lengkap. Bu
Titin hanya menginap hari Sabtu dan Minggu ketika keluarga Irfan lengkap.
Sementara aku sejak bersahabat dengan Irfan sering main bersama-sama
teman-teman lainnya dalam seminggu beberapa kali. Kami selalu berkumpul sehabis
pulang dari sekolah di rumah Irfan. Entah itu nonton, belajar bersama atau cuma
sekedar ngobrol kesana kemari. Tetapi semenjak aku dan Irfan jadian, kami
jarang berkumpul lagi. Teman-teman sepertinya pada segan dan tidak mau
mengganggu waktu kami berdua. Sebenarnya aku rindu sekali masa-masa kebersamaan
itu.
Aku telah sampai di depan pintu rumah Irfan. Lampu luar tampak terang
semua. Sementara lampu ruang tamu dalam keadaan mati. Aku bertanya dalam hati,
jangan-jangan Irfan sedang tidak ada di rumah. Mau masuk tapi tidak berani,
jangan-jangan kalo keluarganya sudah datang malah nanti dipikir pencuri. Aku
ingat kalo ada teras di samping rumah dan dari situ kami bisa mengakses ruang
keluarga di rumah Irfan. Aku beranjak ke halaman samping dan sedikit mengendap.
Maksud hati agar kalo memang ada Irfan dan keluarganya aku mau kembali ke pintu
depan dan memencet bel. Tapi jika tidak ada aku mau balik pulang.
Aku telah berada di ujung tembok teras samping rumah Irfan. Dengan
sedikit melongokkan kepalaku aku melihat ke dalam ruang keluarga yang agak
remang. Aku menyapu dua sosok yang lagi duduk di sofa depan TV. Aku terbelalak,
jantungku seperti berhenti. Dengan setengah tak percaya dan berharap aku salah
melihat, kembali aku melongokkan kepalaku dan memandang lebih tajam kearah dua
sosok itu. Aku kucek mataku sekali lagi. Dan... tidak, itu bukan halusinasi..itu
betul.. yang kulihat bukan bohongan. Aku menggosok mataku berulang-ulang dan
tetap pemandangan yang sama aku dapatkan. Aku terduduk lemas, kakiku seperti
tak sanggup menopang badanku lagi. Apa yang aku lihat malam ini adalah mimpi
buruk yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
“Apa ini Irfan? Apa maksud dari semua ini? Kenapa ini kau lakukan
padaku?” aku berusaha mengangkat badanku yang begitu berat. Gemetar karena
menahan marah dan kecewa yang tak terbendung. Kurasakan mataku panas, pandanganku
kabur oleh air yang mulai mengembang di pelupuk mata. Aku berusaha kuat.
Berusaha menahan diriku untuk tidak makin menjadi histeris. Aku perlahan
berjalan untuk menghampiri pintu teras, tapi baru saja aku berdiri aku
mendengar beberapa suara dari ruangan lain. Aku kembali bersembunyi di balik
tembok dan melongokkan sedikit kepalaku untuk melihat apa yang terjadi.
Aku melihat papa, mama dan adik Irfan datang membawa kue Ultah. Ada
seorang lelaki dan seorang perempuan yang seumuran dengan papa mama Irfan ada
bersama mereka. Sepertinya mereka begitu akrab. Dan cewek itu, yang aku lihat
sedang mesra dengan Irfan sepertinya, itu pasti anak mereka. Tapi apa hubungan
mereka? Cewek itu tetap tak bergeming dalam pelukan Irfan meski semua orang
telah berada di sana. Dia sepertinya da biasa dan tidak merasa risih dilihat
oleh yang lainnya bahkan kedua orang tua irfan. Kedua keluarga itu sangat akrab
dan Irfan dan cewek itu pasti memiliki hubungan spesial.
Tak terasa aku telah berada di depan pagar rumah Irfan. Tidak tahu
harus berjalan kemana. Hati dan perasaan yang kacau membuat aku tidak tahu apa
yang harus kulakukan. Aku hanya berjalan dan berjalan. Bulir-bulir air hujan
mulai turun menimpah wajahku. Dari pelan hingga akhirnya begitu deras. Tapi
rasa sakit dan kecewa di hatiku membuatku tidak mempedulikan semuanya. Aku
hanya berjalan dan terus berjalan sampai pada akhirnya aku merasa sangat letih,
dingin dan tiba-tiba gelap semuanya.
Aku merasakan tubuhku begitu lemas dan mataku
seperti berat sekali untuk kubuka. Perlahan aku mendengar seperti suara Linda
memanggilku beberapa kali. Dengan susah payah kubuka mataku. Dan mataku tepat
melihat Linda sedang duduk disamping tempatku berbaring. Kusapukan pandanganku
ke segala penjuru ruangan.
“Lind, dimana aku?”
“Kamu ada di rumah sakit Mit”
“Kenapa aku ada disini?” aku berusaha menarik
badanku untuk bisa duduk.
“Baring aja dulu Mith.. kamu kan masih sakit.”
“Apa yang terjadi, kamu belum jawab Lind?” aku
tidak berhasil bangun karena ternya badanku begitu lemas.
“Kamu pingsan di ujung jalan dekat rumah
Irfan, terus..” Belum lagi Linda melanjutkan kalimatnya dokter masuk bersama
dengan seorang yang begitu ku kenal. Dia yang pada awal masuk kelas 2 SMA
begitu menarik dan beberapa waktu sempat menghiasi pikiranku sebelum Irfan
menyatakan perasaannya padaku. Dan sekarang cowok ini pula yang begitu aku
benci.
“Bagaimana Om?” Tanya cowok itu setelah dokter
itu selesai melakukan beberapa tindakan kepadaku.
“Adek ini masih perlu stay sampai benar-benar
pulih.”
“Apa ada kondisi yang berbahaya om?” Linda
agak kuatir.
“Tidak, Mitha Cuma shock, terus kehujanan
cukup lama, membuat badannya demam. Setelah demamnya turun dan tubuhnya lebih
bugar. Bisa pulang.” Dokter itu menulis resep dan memberikannya kepada Farel.
“Om, mau memeriksa pasien lainnya. Farel ambil obat nya ke bagian farmasi.”
“Oke Om.” Farel memandang kearahku tanpa
berkata apapun kemudian beranjak pergi bersama dokter itu setelah pamit kepada
Linda.
“Kenapa ada orang itu disini Lind.”
“Siapa, Farel maksudmu?. Linda baru akan
meneruskan kata-katanya ketika telepon berdering. “Ntar ya Mith, dari kak
Siska.” Linda beranjak keluar dari kamar. Tak berapa lama sejak kepergian
Linda, masuk sebuah sosok yang begitu aku benci saat ini.
“Bagaimana keadaanmu?” Aku tidak menjawabnya
dan berusaha membuang mukaku jauh. Aku sangat tidak nyaman dengan kehadiran
orang ini. “Maafkan aku jika selama ini aku..”
“Tidak ada yang harus dimaafkan, kita ini
bukan siapa siapa. Saudara bukan teman dekat juga bukan. Jadi..”
“Mitha... selama ini aku sudah salah faham
denganmu, aku sungguh minta maaf.” Cowok itu memegang bahuku. Aku dengan cepat
mengibaskannya. Entah mengapa rasa sakit dihatiku karena Irfan malah semakin
menjadi saat kulihat cowok itu. Bahkan rasanya pengen aku cincang cincang saja
mereka berdua.
“Sudahlah, aku tidak mau lagi melihat kalian..
semua cowok berengsek. Kamu yang selalu menghinaku dan dia yang aku sangka
lebih baik dari kalian, ternyata sama saja bahkan lebih parah.” Aku kembali
mengeraskan suaraku meminta Farel pergi meninggalkan kamar tempatku dirawat. Cowok
itu masih sepertinya enggan bergeming dari sisiku. “Tolong pergi dari sini. Cepat..”
Suaraku meninggi karena menahan geram yang teramat. Cowok itu perlahan beranjak
menjauh dari tempat aku berbaring. Tak berapa lama masuk Linda dengan agak tergopoh
gopoh.
“Apa yang kamu lakukan pada Farel?”
“Mengusirnya. Aku tidak mau melihatnya.”
“Mitha… kamu tidak seharusnya memperlakukan
Farel seperti itu.” Linda menatapku dengan kecewa. “Kamu tahu tidak, Farellah
orang yang telah menolongmu. Dia yang membawamu ke Rumah sakit ini. Dia juga
yang memaksa omnya untuk datang menangani kamu langsung padahal tadi malam
bukanlah jadwal omnya itu untuk bertugas di RS sini.” Aku memandang Linda
memastikan ceritanya. “Dialah orang yang begitu khawatir akan keadaanmu, dialah
yang semalaman menjagamu disini karena baru pagi ini dia menelponku
memberitahukan keadaanmu padaku.” Linda menghela nafas panjang kemudian
meneruskan kembali kata katanya. “Dia sudah cerita banyak tentang penyesalannya
karena dia berfikir buruk tentangmu. Asal kamu tahu saja, yang selalu mengirimu
surat kaleng dan bunga itu ada Farel.. Maafkanlah
dia..” Aku kaget mendengar apa yang dikatakan Linda. Jadi selama ini yang
mengirimiku bunga dan surat tanpa nama itu Farel.
“Tidak semudah itu Lind, kamu bukan aku, kamu
tidak tahu rasanya dihina dan dipermalukan di depan umum.” Ingatanku kembali pada
saat saat Farel dan kawan kawannya meledek dan menghinaku.
“Mith.. Farel melakukan itu semua karena dia
sebenarnya cemburu dan tidak terima kamu jadian sama Irfan. Jadi ketika dia
mendapat info bahwa kamu bukan cewek baik baik makannya itu dia jadikan pelampiasan.
Dia sebenarnya menyukaimu. Tapi dia kalah cepat dengan Irfan.”
Aku menatap Linda tak percaya. Sebenarnya tiba
tiba saja ada rasa aneh menyelinap didadaku ketika mendengar cerita Linda.
Antara benci dan senang sedang bergelut didalam hatiku. Jujur saja sebenarnya
sejak awal masuk kelas 2 aku sudah tertarik dengan sosok Farel. Kami sempat
agak dekat sebelum akhirnya Farel digosipkan dengan Sinta, anak 2A yang adalah
teman dari kelas 1nya dulu dan aku jadian sama Irfan. Aku bahkan sempat memimpikan
Farel beberapa waktu. Tapi harapanku untuk lebih dekat lagi dengannya kandas
karena dia gosipnya telah jalan dengan Sinta. Ah… tapi benarkah kata Linda. “Kalau
dia suka aku, kenapa dia menghinaku dan mempermalukan aku.” Aku menarik nafas panjang
seperti berusaha untuk menemukan jawaban itu dalam diriku sendiri.
“Karena aku cemburu kamu telah jadian dengan
Irfan, dan aku juga dengan mudah menerima info yang tidak benar. Maafkan aku
Mith…” Tiba tiba saja Farel muncul dari arah pintu.
“Oya Mith, aku tidak bisa menungguimu. Karena
acara kak Siska..”
“iya.. Lind, maafkan aku tidak bisa membantu,
kak Siska pasti kecewa sama aku.” Aku begitu merasa bersalah karena justru di
moment yang begitu penting bagi Linda dan keluarganya, aku malah tidak bisa
hadir dan membantu.
“Kak Siska dan keluarga udah aku kasih tau.
Justru mereka minta maaf karena tak bisa jenguk kamu.” Linda melepaskan
tangannya. “Farel, nitip Mitha ya. Kalau ada apa apa telpon aja.” Linda menepuk
bahu Farel dan bahuku, kemudian beranjak meninggalkan kami yang termangu mangu
berdua.
“Maafkan aku Mith..”
“Apa tidak ada kata lain lagi selain maaf, aku
bosan dengarnya.” Aku menatap wajah Farel. Ada desiran aneh dalam dadaku saat
mataku bertemu dengan matanya. Perasaan ini tidak pernah aku rasakan ketika aku
dekat dengan Irfan. Perasaan ini hanya aku rasakan sama Farel saat awal awal
kami mulai dekat.
“I love you.” Aku membelalakkan mataku saat
mendengar kata itu keluar dari mulut Farel. Bercampur dengan ragu dan takut
jika Farel hanya akan mempermainkanku seperti Irfan.
“Jangan main main…” Farel menarik tanganku pelan
ke dadanya.
“Aku sungguh sungguh. Sejak pertama kita masuk
di kelas 2G, aku telah jatuh hati padamu. Tapi banyak hal yang membuat kita
salah faham sehingga kita menjadi jauh.”
“Kamu berkata begitu hanya untuk menghiburku
kan.” Aku menarik tanganku.
“Aku hanya ingin kau tahu isi hatiku. Aku
tidak ingin memendamnya lebih lama. Terserah kamu menerima atau tidak. Aku
tahu, aku tidak ada apa apanya dibanding Irfan, tapi…”
“Sudahlah.. jangan membandingkan dirimu dengan
Irfan. Bukankah kamu juga sudah pacaran dengan Sinta.” Aku menekan suaraku seperti
ingin meyakinkan diriku sendiri tentang info yang beredar tentang Farel dan
Sinta selama ini.
“Sinta dan aku tidak ada hubungan apa apa,
teman teman menjodohkan kami, tapi aku dan sinta tidak ada hubungan apapun.”
Farel meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Aku tidak tahu harus bereaksi
bagaimana. Dalam pikiranku berkecamuk berbagai macam rasa. Tapi yang jelas aku
merasa bahagia dan sedikit lupa dengan lukaku yang baru kudapat dari Irfan. Tapi
bagaimanapun, rasa trauma itu masih ada dan rasa takut untuk memulai hubungan
yang baru masih menyelimuti hati dan pikiranku.
Aku tidak mengiyakan atau membantah Farel saat
ini. Biarlah waktu yang akan berbicara. Aku mau menyembuhkan lukaku dulu.
Membangun kembali kepercayaanku pada cowok yang sudah porak poranda karena penghianatan
Irfan. Aku tidak menerima tetapi juga tidak menolak. Karena aku sendiri tahu
bahwa aku juga memiliki rasa pada Farel. Kuharap dia bisa sabar menungguku sampai
luka hatiku mengering dan siap menerima kembali cinta yang sebenarnya.
*************