Banyak orang bicara tentang kota indahnya kota
wisata, Batu yang terletak di Kabupaten Malang.
Bagi pecinta alam, mereka mengisahkan berbagai
keindahan alam dalam lisan dan tulisan. Sedangkan bagi pemburu cinta satu malam
mengisahkan mengabadikan moment indah bersama bidadari penghangat di kota sejuk
itu.
Sebagai seorang pecinta keindahan alam sekaligus pemburu
berbagai informasi, sebelum mengakhiri perjalanan keliling Sumatra – Jawa saya
menyempatkan diri ke kota ini.
Wisata yang berlokasi sekitar 45 menit dari kota
Malang ini terkenal dingin karena kedekatannya dataran tinggi serta fenomena titik
Aphelion. Bahkan tingkat kedinginan kota ini tak jarang mencapai 16 derajat
celcius. Hal ini membuat pengendara sepeda motor tanpa mantel dan sarung tangan
merasa berada dalam kulkas.
Sekitar pukul 21.00 WIB malam hari, dari Singgoriti
hendak kembali ke penginapan kami salah satu hotel di jalan Zaenal Arifin,
Malang Kota. Sebagai orang awam yang
belum pernah ke tempat ini pergi tanpa persiapan seperti mantel dan sarung
tangan. Akibatnya, kedua tangan yang menyetir sepeda motor bagai diselimut es
batu.
Tangan bergetar, dan solusi terakhir adalah mampir
ke salah satu tempat hiburan di sana. Di sana saya memesan tiga botol bir
dengan harga perbotol Rp 65.000. Sementara teman saya hanya memesan kopi panas
untuk mentralisir hawa dingin yang sedang menyelimuti kota Senggoriti.
Suasana malam hari di kota ini terbilang sepi. Tempat
hiburan sangat jarang ditemui. Hal ini karena peraturan pemerintah setempat
yang menobatkan kota ini sebagai Indonesia Muslim Travel Index (IMTI) dan
disetujui pula oleh kemenpar tahun 2019 ini.
Sempat bertanya keberadaan para gadis si guru olah
raga esek-esek yang bisa membuat peredaran darah lancar dan kembali hangat. Tapi
ternyata, mereka enggan memunculkan batang hidung lantaran aturan IMTI yang
diterapkan oleh Pemkab setempat. Karena resikonya bisa berujung penggerebekan
dari penegak Perda, Satpol PP di sana.
Namanya juga kebutuhan biologis. Saya yakin ditempat
ini tidak mungkin tidak memiliki instruktur kuda-kudaan. Belum juga habis segelas
bir, keluar lah satu dua dan tiga bidadari pemandu suara di salah satu karaoke
tempat kami melepas dingin.
Sinar lampu remang memantul di baju merah “You Can
See” yang dikenakan. Membuat wajah mereka begitu mempesona.
Tawar punya tawar, yang namanya juga ingin tahu.
Keberadaan para penjaja cinta di Singgoriti akhirnya terungkap. Banyak trik
yang dilakukan agar keberadaan mereka tetap tersembunyi. Dan bicara masalah
harga, berada pada kisaran Rp 200.000 hingga Rp 300.000 per sekali sedot atau
Short Time. Dan Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per bobar alias bobo bareng hingga
pagi.
Semoga hal ini bisa menjadi refrensi untuk Pemkab
Malang dalam mengembangkan wisata kota ini.
Artikel ini kami muat juga di Media kami