Saya tidak pernah menyangka kalau hubungan saya dengan Anez berakhir tragis. Karena selama kami menjalin hubungan, Anez tidak pernah menceritakan pada saya kalau ia telah menikah.
Selama saya menjalin kasih, saya hanya tau kalau Anez adalah pria baik dan selalu memenuhi kebutuhan ku bahkan disaat saya tidak pernah meminta.
*
Malam itu, hawa dingin terasa menyelimut remang-remang malam. Cahaya bulan enggan memancarkan cahaya disekitar sungai karena awan biru menghalangi. Dari pelantaran sungai, saya masih mendengar suara, Imus anak perempuanku dengan sedikit tangis memanggil "mama, mama, mama cepat balik".
Mencoba bergegas, saya langsung menghampiri sungai itu lalu menimba air. Waktu ember ditangan kananku mencoba mengeluarkan ember tadi karena telah penuh, pemandangan sedikit terganggu. Dari jarak sekitar 30 meter sebelah kanan, saya melihat sebuah perahu dengan lampu senter seolah menuju pelantara dimana aku berdiri.
Baik di benak, maupun di hati ini, tidak ada firisat yang aku rasa. Karena dugaan saya itu adalah nelayan yang mencoba berburu ikan untuk menemani makan malam mereka.
Bergegas, saya angkat ember yang sejak tadi masih berada dalam sungari. Tanpa pikir panjang, aku pun bergegas pulang ke rumah kami yang tidak jauh dari kali itu.
Setibanya dirumah, saya melihat Imus anak perempuan ku bersama Miskan terlihat senang. Kesenangan dari raut wajah itu pun aku balas dengan senyuman kasih.
"Sabar ya nak. Mama masak makanan kita dulu" ujar ku pada Imus sambil menuju tungku yang ada di dapur.
Air diember yang baru saja aku timba di air saya tuangkan kedalam periuk untuk mencuci beras. Namun, kaget dengan suara seorang pria asing memanggil, "Selamat malam kak".
Dengan wajah yang sedikit puncak wajah saya palingkan ke arah suara itu ada.
Didepan pintu terlihat samar - samar seorang pria berpostur biasa.
Penasaran siapa pria itu, saya mengambil lampu lentara yang berada persis di belakang pintu masuk dapur.
Mencoba untuk menyembunyikan rasa takut, saya memberanikan diri bertanya.
Saya : Maaf, ini siapa? Apa kira - kira bisa di bantu?
Anez : Saya anez dari Jakarta. Saya bisa sampai disini karena rekomendasi dari teman pecinta alam. Mereka mengatakan, kalau rumah ini ada kamar yang bisa disewakan untuk para pelancong. Dan ini suarat lapor saya dari Kepala Desa dan Kepolisian untuk memastikan bahwa saya orang baik.
Setelah membaca rekomendasi dari Desa dan Kepolisian, ketakutan saya pun hilang. Lalu......
Saya : Oh, ia bang. Harganya Rp 50.000 per malam.
Anez : Ok tidak apa-apa. Mungkin saya akan sewa selama seminggu.
Saya : Tidak apa-apa. Asal abang betah. Di tempat tidur, hanya ada tilam dan tidak ada selimut ataupun bantal.
Anez : Nggak apa kak, kebetulan saya membawa selimut dan bantal sendiri.
Kampung kami dari tempat penginapan memang sangat jauh. Hal ini yang membuat para pecinta alam yang datang ke Desa ini memilih menyewa rumah penduduk setempat agar lebih leluasa menikmati alam.
Terlebih, sungai yang berada depan rumah kami terkadang muncul buaya putih dan buaya merah di pagi hari. Agar tidak ketinggalan momen itu, mereka menyewa kamar kami yang kebetulan hanya keluarga kami yang memilih menetap disana ini karena suami ku tidak memiliki keahlian untuk bekerja di kota.
Setiap kali para pelancong ini datang menyewa kamar, hati kami merasa sangat bersyukur. Karena sebagai petani sangat jarang bisa menyentuh uang.
Usai menujukan kamar yang disewakan, saya kembali menuju dapur. Dan tak lama setelahnya, saya dan anak saya makan, lalu tidur.
Selang beberapa menit, anak saya terlihat sedang lelap dalam tidur. Karena saat itu suami sedang tidak berada di rumah. Seminggu sebelumnya ia telah pergi ke rumah ibu mertua mencari pekerjaan. Sementara dengan kehadiran tamu asing ini membuat saya merasa was was. Terlebih pintu kamar kami hanya terbuat dari anyaman bambu.
Di dinding terlihat posis jam menujukan pukul 01.19. Rasa ngantuk pun sudah tiba. Tapi kewaspadaan membuat mata ini susah untuk terpejam. Rasanya ingin meminta Anez pergi, tapi kasihan juga karena sudah larut malam. Belum lagi suami saya meminta agar saya menerima jika ada tamu yang nginap demi memenuhi kebutuhan kami selama ia mengadu nasib.
Jarum jam terus berputar dari detik ke detik, kini posisi jarum jam menujukan pukul 1.45 pagi. Saya mencoba menikmati keheningan malam agar pikiran buruk saya pada tamu asing kami hilang supaya bisa tertidur.
Baru saja pikiran ini merasakan tenang, tiba-tiba suara dengan alunan musik yang begitu romantis disertai iringan music dari kamar Anez membangunkan bulu kudu ku.
Entah kenapa, bak terhipnotis oleh alunan musik itu. Dengan pelan saya keluar kamar dari menghamipiri pintu Anez. Tiba depan pintu, saya berniat sekedar duduk depan pintu itu sambil menikmati musik yang berasal dari kamar.
"Brak" suara pintu terdengar. Dari dalam kamar Anez keluar cahaya yang sangat terang. Orang-orang kota memanggilnya lampu batre yang bisa di cas di listrik telah menyingkap persembunyianku. Anez yang mengetahui keberadaan ku langsung mengajak saya masuk.
"Masuk aja kak. Ini kan rumah kakak juga," ajak Anez.
Penasaran apa yang ada dalam kamar itu, saya memberanikan diri masuk tanpa perasaan takut. Ingin menikmati suara musik yang keluar dari loadspeaker kecil di sudut kamar itu, saya pun duduk disana.
Anez ternyata pria yang sangat baik sopan. Dari raut wajahnya telihat ia masih muda dan dari keluarga orang berada. Hal ini membuat saya nyaman dan menanyakan beberapa keadaan di kota.
Dari cerita hiruk pikuknya kota Jakarta hingga pengalaman cintanya membuat malam itu saya terpesona dengannya.
"Emangnya, gimana sih kalau orang kota pacaran?" tanyaku saat itu penasaran.
Pertanyaan itu tidak ia jawab. Ia malah senyum sambil menghampiriku. "Yuk, berdiri biar saya kasih tau" ujarnya sambil mengulurkan tangan.
Begitu berdiri, ia sempat meminta maaf. Awalnya kata maaf itu saya tidak mengerti. Baru saya paham setelah tangan kirinya meraih pinggulku lalu mengajak berdansa.
Begitu tanganya meraih pinggulku yang kata orang kampung bilang "bahenol" sontak teringat salah satu film Juliat and Romeo.
Dengan iringan musik yang begitu romantas, perlahan saya mencoba mengikut gerakan dansa Anez.
Sekitar 5 menit kami berdansa diatas lantai kayu rumah yang dibangun oleh suami ku sendiri. Saya mulai tersadar kalau saya adalah istri orang. Saya ingin berhenti, tapi masih ingin menikmati suasana itu.
"Dia bukan suamiku," gumamku dalam hati sambil mencoba dengan pelan melepas rangkulan tangan kirinya dari pinggulku.
Menyadari saya ingin lepas dari rangkulannya, sejenak ia berhenti lalu kembali melingkarkan kedua tanganya kepinggulku sambil berbisik "Kamu benar - benar luar biasa. Kamu pintar, cantik dan penuh kasih sayang. Saya belum pernah menemukan wanita seperti mu" dengan lembut
Kata - kata itu seolah melambungkan ke keangkasa. Kata - kata pujian seperti itu, belum pernah saya dengar dari suamiku meskipun aku selelu berharap untuk diucapkan.
Ingin melepas diri tapi penasaran apa yang dikatakan, sementara Anez seolah tau apa yang aku kutunggu. Ia pun melanjutkan, "Jika Tuhan izinkan, saya ingin bersamamu. Aku tahu kamu sudah bersuami, maaf akan aku, maaf kan hati ku ini yang tak sanggup untuk tidak mengatakan cinta padamu".
Perasaan ku semakin melayang. Jujur, saya tidak ingin malam itu berlalu. Saya tidak ingin melepas rangkulan itu. Tapi Anez malah melepasnya lalu menjauh. Merasa bersalah tidak bisa membalas cintanya, kini saya yang menghampirinya.
"Maafkan aku Mona, saya tidak biasa untuk membohongi diri ku. Saya tidak ingin membohohongi hatiku kalau benar-benar ingin memiliki mu," kata Anez lagi.
Semakin bersalah ku rasa. Kenapa saya harus ke kamar dia. Kenapa saya harus berdansa dengan. Kenapa dia harus datang ke rumah kami disaat suamiku tak di rumah.
Saya lalu merangkulnya dan berkata "Sudah, masih ada dan banyak wanita yang single yang siap menerima cinta mu.. Per..." belum juga saya selesai bicara ia mebalikan badan lalu memcumbu bibirku.
"Maaf kan aku, apapun yang terjadi malam ini. Aku hanya ingin memiliki mu. Karena selama pacaran, hanya kamu yang bisa memikat hati ini"
Terbuai dengan kata-kata, saya lupa diri. Terlebih saat itu saya hanya memakai daster dan tidak mengenakan celana dalam membuat Anez malam itu mudah mendapatiku.
Selama seminggu disana, saya dan Anez sudah seperti suami istri. Setiap kali anak saya tertidur, saya mengendap-endap masuk kamar Anez sekedar memenuhi kewajiban sebagai istri meskipun pada kenyataannya saya adalah istri dari Miskan.
Waktu Miskan untuk pulang pun tiba. Saya diajak ke Jakarta, sementara anak saya, saya titip ke tetangga.
Di Jakarta, saya disewakan sebuah rumah oleh Miskan, selama 2 bulan lebih kami bersama. Hingga pada suatu hari istri Anez datang bersama warga menggerebek kami sebagai pasangan zinah.
Kami di babak belur oleh warga yang mengamuk. Dengan keadaan tangan patah, Anez dibawa pulang oleh istrinya yang ternyata anak kepala preman terkenal di kota megah itu.
Aku, yang sudah terlanjur malu. Tidak berani pulang kampung. Kini ku hidup sebagai kupu - kupu malam. Mengadu nasib di jalanan mencari lelaki hidung belang, hingga suami ku dari kampun menemukanku dan membawa ku pulang untuk kembali membangun rumah tangga yang telah aku berantakan.
Ambil sisi posotif aja dari kisah ini. Karena kisah ini adalah kisah nyata.
Meskipun demikian, nama dalam kisah ini merupakan samaran. Apabila ada kesamaan dan tempat diluar yang meminta kami menulis, itu adalah kebetulan saja....
Sekian.. dan terimakasih.