CINTA ITU ANEH Part 3


Aku masih memegang tangan pria yang sekarang terbaring di tempat tidurku itu. Di pergelangan tangannya melingkar sebuah gelang dengan tali kulit yang harganya sepertinya sangat mahal. Tetapi yang menarik perhatianku bukanlah tali kulit dan harganya, melainkan bambu yang ada di tengah itu. Bambu itu seperti mengingatkanku pada gelang kesayanganku yang kuberikan kepada Noah, anak tuna rungu  yang kukenal 10 tahun lalu di SLB C di bukit Lawang. Mungkinkah...?

“Ah...jangan berimajinasi terlalu tinggi Faniah. Impossible.. ” Aku menggumam sendiri. Aku sangat yakin pria yang sedang terbaring tak sadarkan diri itu pasti tidak ada hubungan dengan si Noah. Pertama Noah bisu, dan pria itu bisa bicara. Kedua Noah ada di SLBC dengan orang tua tidak jelas, sedang pria itu sepertinya orang kaya. Ketiga, gelang itu memang memiliki inisial “F” seperti gelang yang kuberikan ke Noah, tapi itu hanya gelang murahan dari bambu, yang sekarang pastinya sudah tidak lagi berbekas di tangan Noah, sedangkan gelang yang ada di tangan pria itu sepertinya sangat mahal dan bambunya juga dilapisi bahan yang berkualitas tinggi sehingga terlihat sangat elegan.

“Air....” kudengar pria itu berkata lirih.

"Apa, anda butuh apa?” aku mendekatkan telingaku ke dekat wajah pria itu.

“Air.. berikan saya air.”

Aku bergegas mengambil teko yang ada diatas meja kamarku, menuangkan air ke gelas dan membawahnya kepada pria itu.

“ini minumlah.” Aku berusaha membantu pria itu mengangkat kepalanya untuk bisa meneguk air dari gelas yang kedekatkan ke mulutnya.

“Dimana saya?” pria itu memandangi sekeliling kamarku setelah dia bisa mengusahakan tubuhnya untuk duduk.“Anda ada di rumah kami, tepatnya di kamar saya.” Aku memandang pria itu dengan seksama. “Kami tidak membawa anda ke rumah sakit karena anda meminta kami untuk tidak melapor.” Lanjutku.
                “Terima kasih.” Pria itu menatapku tajam seperti ada yang berusaha ia dapatkan dari tatapan itu. “Tolong jangan lapor, meskipun anda tahu siapa saya nantinya jika ada berita di manapun tentang kecelakaan pesawat kami.”
                Aku mengangguk, tak lama ayah datang dengan membawa beberapa obat-obatan yang aku pesan sebelumnya. Meski aku tidak memiliki pendidikan farmasi tapi aku tahu banyak tentang obat-obatan dari buku dan internet. Kami tidak berani memanggil petugas kesehatan ke rumah, karena sesuai pesan pria itu, tidak boleh ada yang tahu keberadaannya.
                “Kami sudah lihat beritamu pagi ini, sepertinya kamu harus secepatnya mengabari keluargamu. Terutama mamamu, dia sangat terpukul. Semua orang menganggap kamu telah mati.” Aku kaget mendengar perkataan Ayah.
                “Sudah ada beritanya yah?” Aku memandang ayah untuk meyakinkan diri.
                “Iya, sudah. Ada 3 daftar korban di pesawat yang jatuh itu. Salah satu termasuk anak ini. Namanya Devon.” Ayah tampak serius.
“Hanya kalo kamu Devon ada disini, terus yang satu lagi yang meninggal di pesawat itu siapa? Berarti ada 4 orang dan satu tidak terdata.” Aku memandang Devon, nama pria itu yang baru aku dengar dari Ayah.
“Biarkan mereka berfikir bahwa Devon sudah meninggal. Itu lebih baik untuk semuanya.” Devon menghela nafas panjang. “Tidak ada yang tahu saya disini selain kalian kan?”
Kami menggeleng bersamaan. Devon meraih tangan kami dan menggenggam erat. Ia berterimakasih karena kami telah menyelamatkan dan menyembunyikannya di rumah kami. Kemudian dia menanyakan pakaian yang dipakainya saat kecelakaan itu terjadi.
“Ada, sebentar.” Aku mengambil pakaian Devon yang dipenuhi lumpur bercampur darah. Aku sengaja menyimpannya dalam kantong plastik karena mungkin saja pakaian itu akan dijadikan barang bukti atau apa jika Devon akhirnya setelah sehat melapor ke polisi atau menghubungi keluarganya. Aku membiarkannya dan tidak mencucinya. “Maaf, saya tidak mencucinya, karna mungkin anda akan membutuhkannya saat anda mau melapor ke polisi.” Devon mengambil kantong itu dan membukanya. Ia mengeluarkan sebuah KTP dari saku celana. Aku baru ingat memang ada benda seperti KTP ada di saku celananya, tetapi aku tidak berani mengecek itu. Rupanya itu memang KTP dan ada beberapa kertas kecil kecil juga.
“Yang meninggal sebagai Devon itu adalah pria ini.” Devon menyodorkan KTP itu kepada kami. Disitu tertera nama “Ihsan”, wajahnya hampir mirip dengannya. “Dia adalah saudara saya dari lain ibu. Hanya saja nasibnya tidak sebagus nasib saya. Karena mama saya memperjuangkan saya untuk bisa diakui keluarga besar papa saya. Sementara dia tidak memiliki kesempatan itu karena ibunya meninggal setelah melahirkan dia. Kami baru saja bertemu tanpa sengaja dan saya berencana untuk membawahnya menemui papa. Tetapi ini yang terjadi.”
Ah sedih sekali mendengar ceritanya, seperti menonton film atau membaca novel saja kupikir. Menurut Devon, Dia sebenarnya ingin memberi surprise kepada papanya dengan bertukar baju dengan Ihsan. Devon mendandani Ihsan persis seperti dirinya supaya ketika ketemu keluarganya mereka akan menganggap Ihsan sebagai Devon, dan Devon dengan tiba-tiba akan muncul mengagetkan mereka. Setelah itu barulah dia akan mengungkap siapa Ihsan sesungguhnya. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain.
“Maaf, saya sangat bersedih dengan yang menimpa anda.” Tak terasa mataku berkaca-kaca dan perlahan-lahan kurasa air hangat mulai menetes.
“Terimakasih, kalian bukan apa-apa saya, tapi kalian begitu baik. Setelah sekian lama, saya baru beberapa hari ini bertemu dengan orang-orang yang begitu tulus membantu dan mengasihi orang lain.” Devon mendongak dan mendesah lirih. Kulihat matanya seperti berkaca-kaca, tetapi mungkin karena sifat lelakinya, sehingga dia menahan diri untuk tidak menangis.
“Oya, ayah harus berangkat kerja. Sudah kesiangan.” Ayah menepuk pundakku dan segera beranjak pergi setelah kucium tangannya dan sempat mengucapkan beberapa kata ke Devon.
Setelah kepergian ayah, aku juga berniat meninggalkan kamarku dan menuju dapur untuk membantu ibu.
“Oya, ini sarapan anda, ibu saya menyiapkan nasi dengan sup dan bubur sebagai pilihan, mana yang anda selera?” Aku membuka bubur, nasi dan sup yang sudah ibuku siapkan dari pagi.
“Panggil saja Devon, jangan terlalu resmi. Apapun yang kalian berikan saya akan memakannya dengan senang hati.” Devon berusaha untuk mengangkat tubuhnya. Aku segera membantunya untuk duduk karena kulihat dia masih begitu lemah.
“Saya akan menyuapimu.” Aku mengambil semangkuk bubur dari atas meja dan perlahan-lahan menyuapkannya ke mulut Devon.
“Terimakasih.” Ucapnya lirih setelah menelan suapan pertamaku. “Bolehkah kutahu namamu?” Lanjutnya setelah beberapa suapan dan kami tidak bersuara satu sama lain.
“Faniah..” Devon menatapku tak berkedip. Untuk sesaat kami saling bertatapan. Terasa ada getaran aneh dalam dadaku. Matanya begitu indah, berwarna biru dan agak sipit. Sepertinya dia memiliki darah campuran antara indo, eropa dan cina. Tapi yang paling membuatku gugup adalah tatapannya yang menghujam ke dalam jantungku.
“Trimakasih Faniah..” Devon memberi isyarat kalo dia sudah tidak mau makan buburnya lagi.
“Baiklah, setelah saya mengoleskan salab dan kamu meminum obat ini, Saya akan meninggalkanmu untuk beristirahat kembali. Ada yang harus saya kerjakan.” Aku mengoleskan salab di beberapa luka di tubuh Devon. Dan membantunya meminum pill yang telah dibeli ayah dari apotek. Setelah itu aku meninggalkannya untuk beristirahat kembali.

Jonny Richards

Templateify is a site where you find unique and professional blogger templates, Improve your blog now for free.

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post

Terkini