Aku masih memegang tangan pria
yang sekarang terbaring di tempat tidurku itu. Di pergelangan tangannya
melingkar sebuah gelang dengan tali kulit yang harganya sepertinya sangat
mahal. Tetapi yang menarik perhatianku bukanlah tali kulit dan harganya,
melainkan bambu yang ada di tengah itu. Bambu itu seperti mengingatkanku pada
gelang kesayanganku yang kuberikan kepada Noah, anak tuna rungu yang kukenal 10 tahun lalu di SLB C di bukit
Lawang. Mungkinkah...?
“Ah...jangan
berimajinasi terlalu tinggi Faniah. Impossible.. ” Aku menggumam sendiri. Aku
sangat yakin pria yang sedang terbaring tak sadarkan diri itu pasti tidak ada
hubungan dengan si Noah. Pertama Noah bisu, dan pria itu bisa bicara. Kedua
Noah ada di SLBC dengan orang tua tidak jelas, sedang pria itu sepertinya orang
kaya. Ketiga, gelang itu memang memiliki inisial “F” seperti gelang yang kuberikan
ke Noah, tapi itu hanya gelang murahan dari bambu, yang sekarang pastinya sudah
tidak lagi berbekas di tangan Noah, sedangkan gelang yang ada di tangan pria itu
sepertinya sangat mahal dan bambunya juga dilapisi bahan yang berkualitas
tinggi sehingga terlihat sangat elegan.
“Air....”
kudengar pria itu berkata lirih.
"Apa,
anda butuh apa?” aku mendekatkan telingaku ke dekat wajah pria itu.
“Air..
berikan saya air.”
Aku
bergegas mengambil teko yang ada diatas meja kamarku, menuangkan air ke gelas
dan membawahnya kepada pria itu.
“ini
minumlah.” Aku berusaha membantu pria itu mengangkat kepalanya untuk bisa
meneguk air dari gelas yang kedekatkan ke mulutnya.
“Dimana
saya?” pria itu memandangi sekeliling kamarku setelah dia bisa mengusahakan
tubuhnya untuk duduk.“Anda
ada di rumah kami, tepatnya di kamar saya.” Aku memandang pria itu dengan
seksama. “Kami tidak membawa anda ke rumah sakit karena anda meminta kami untuk
tidak melapor.” Lanjutku.
“Terima
kasih.” Pria itu menatapku tajam seperti ada yang berusaha ia dapatkan dari
tatapan itu. “Tolong jangan lapor, meskipun anda tahu siapa saya nantinya jika ada
berita di manapun tentang kecelakaan pesawat kami.”
Aku
mengangguk, tak lama ayah datang dengan membawa beberapa obat-obatan yang aku
pesan sebelumnya. Meski aku tidak memiliki pendidikan farmasi tapi aku tahu
banyak tentang obat-obatan dari buku dan internet. Kami tidak berani memanggil
petugas kesehatan ke rumah, karena sesuai pesan pria itu, tidak boleh ada yang
tahu keberadaannya.
“Kami
sudah lihat beritamu pagi ini, sepertinya kamu harus secepatnya mengabari
keluargamu. Terutama mamamu, dia sangat terpukul. Semua orang menganggap kamu
telah mati.” Aku kaget mendengar perkataan Ayah.
“Sudah
ada beritanya yah?” Aku memandang ayah untuk meyakinkan diri.
“Iya,
sudah. Ada 3 daftar korban di pesawat yang jatuh itu. Salah satu termasuk anak
ini. Namanya Devon.” Ayah tampak serius.
“Hanya kalo
kamu Devon ada disini, terus yang satu lagi yang meninggal di pesawat itu siapa?
Berarti ada 4 orang dan satu tidak terdata.” Aku memandang Devon, nama pria itu
yang baru aku dengar dari Ayah.
“Biarkan
mereka berfikir bahwa Devon sudah meninggal. Itu lebih baik untuk semuanya.”
Devon menghela nafas panjang. “Tidak ada yang tahu saya disini selain kalian
kan?”
Kami
menggeleng bersamaan. Devon meraih tangan kami dan menggenggam erat. Ia
berterimakasih karena kami telah menyelamatkan dan menyembunyikannya di rumah
kami. Kemudian dia menanyakan pakaian yang dipakainya saat kecelakaan itu
terjadi.
“Ada,
sebentar.” Aku mengambil pakaian Devon yang dipenuhi lumpur bercampur darah.
Aku sengaja menyimpannya dalam kantong plastik karena mungkin saja pakaian itu
akan dijadikan barang bukti atau apa jika Devon akhirnya setelah sehat melapor
ke polisi atau menghubungi keluarganya. Aku membiarkannya dan tidak mencucinya.
“Maaf, saya tidak mencucinya, karna mungkin anda akan membutuhkannya saat anda
mau melapor ke polisi.” Devon mengambil kantong itu dan membukanya. Ia
mengeluarkan sebuah KTP dari saku celana. Aku baru ingat memang ada benda
seperti KTP ada di saku celananya, tetapi aku tidak berani mengecek itu.
Rupanya itu memang KTP dan ada beberapa kertas kecil kecil juga.
“Yang
meninggal sebagai Devon itu adalah pria ini.” Devon menyodorkan KTP itu kepada
kami. Disitu tertera nama “Ihsan”, wajahnya hampir mirip dengannya. “Dia adalah
saudara saya dari lain ibu. Hanya saja nasibnya tidak sebagus nasib saya.
Karena mama saya memperjuangkan saya untuk bisa diakui keluarga besar papa saya.
Sementara dia tidak memiliki kesempatan itu karena ibunya meninggal setelah
melahirkan dia. Kami baru saja bertemu tanpa sengaja dan saya berencana untuk
membawahnya menemui papa. Tetapi ini yang terjadi.”
Ah sedih
sekali mendengar ceritanya, seperti menonton film atau membaca novel saja kupikir.
Menurut Devon, Dia sebenarnya ingin memberi surprise kepada papanya dengan
bertukar baju dengan Ihsan. Devon mendandani Ihsan persis seperti dirinya
supaya ketika ketemu keluarganya mereka akan menganggap Ihsan sebagai Devon,
dan Devon dengan tiba-tiba akan muncul mengagetkan mereka. Setelah itu barulah
dia akan mengungkap siapa Ihsan sesungguhnya. Tapi ternyata Tuhan berkehendak
lain.
“Maaf, saya
sangat bersedih dengan yang menimpa anda.” Tak terasa mataku berkaca-kaca dan
perlahan-lahan kurasa air hangat mulai menetes.
“Terimakasih,
kalian bukan apa-apa saya, tapi kalian begitu baik. Setelah sekian lama, saya
baru beberapa hari ini bertemu dengan orang-orang yang begitu tulus membantu
dan mengasihi orang lain.” Devon mendongak dan mendesah lirih. Kulihat matanya
seperti berkaca-kaca, tetapi mungkin karena sifat lelakinya, sehingga dia
menahan diri untuk tidak menangis.
“Oya, ayah
harus berangkat kerja. Sudah kesiangan.” Ayah menepuk pundakku dan segera
beranjak pergi setelah kucium tangannya dan sempat mengucapkan beberapa kata ke
Devon.
Setelah
kepergian ayah, aku juga berniat meninggalkan kamarku dan menuju dapur untuk
membantu ibu.
“Oya, ini
sarapan anda, ibu saya menyiapkan nasi dengan sup dan bubur sebagai pilihan,
mana yang anda selera?” Aku membuka bubur, nasi dan sup yang sudah ibuku
siapkan dari pagi.
“Panggil saja
Devon, jangan terlalu resmi. Apapun yang kalian berikan saya akan memakannya
dengan senang hati.” Devon berusaha untuk mengangkat tubuhnya. Aku segera
membantunya untuk duduk karena kulihat dia masih begitu lemah.
“Saya akan
menyuapimu.” Aku mengambil semangkuk bubur dari atas meja dan perlahan-lahan
menyuapkannya ke mulut Devon.
“Terimakasih.”
Ucapnya lirih setelah menelan suapan pertamaku. “Bolehkah kutahu namamu?”
Lanjutnya setelah beberapa suapan dan kami tidak bersuara satu sama lain.
“Faniah..”
Devon menatapku tak berkedip. Untuk sesaat kami saling bertatapan. Terasa ada
getaran aneh dalam dadaku. Matanya begitu indah, berwarna biru dan agak sipit. Sepertinya
dia memiliki darah campuran antara indo, eropa dan cina. Tapi yang paling
membuatku gugup adalah tatapannya yang menghujam ke dalam jantungku.
“Trimakasih
Faniah..” Devon memberi isyarat kalo dia sudah tidak mau makan buburnya lagi.
“Baiklah, setelah
saya mengoleskan salab dan kamu meminum obat ini, Saya akan meninggalkanmu
untuk beristirahat kembali. Ada yang harus saya kerjakan.” Aku mengoleskan
salab di beberapa luka di tubuh Devon. Dan membantunya meminum pill yang telah
dibeli ayah dari apotek. Setelah itu aku meninggalkannya untuk beristirahat
kembali.